Isi tulisan ini
Satu buku lagi selesai dibaca eh didengarkan di Storytel. Seperti biasa, tertarik mencoba karena nama penulisnya dan juga durasi mendengarkannya. Walaupun sudah sering mendengar nama HAMKA yang lebih sering disebut Buya Hamka, saya belum pernah membaca bukunya. Saya hanya mendengar karena dulu salah satu hapalan masa sekolah.
Setelah mendengarkan buku Nh.Dini yang mengambil setting masa awal kemerdekaan, saya cuma penasaran kalau cerita di tahun 1930-an akan seperti apa.
Pertanyaan yang membuat saya memulai membaca buku ini adalah: apakah permasalahan hidup dari cerita masa lalu masih sama dengan masa sekarang? Saya juga bertanya-tanya, apakah cerita ini akan terasa sekali ketinggalan jaman, atau malah lebih bagus daripada cerita cinta jaman sekarang yang begitu-begitu saja?
Tentang Buku Terusir

Buku berjudul Terusir ini tipis, hanya 129 halaman. Buku yang dibacakan di Storytel ini merupakan buku yang dicetak oleh Gema Press Insani di tahun 2016. Buku ini pernah dicetak sebelum 2016 tentunya, di tahun 1963 saja sudah naik cetakan ke-3 dengan jumlah 87 halaman.
Buat yang belum berlangganan Storytel, buku ini tersedia di iPusnas, tapi mungkin harus mengantri. Kalau mendengarkan dengan kecepatan normal, dibutuhkan waktu 3 jam, tapi saya mempercepat 1.5 kali dan masih bisa didengarkan dengan baik. Hanya butuh 2 jam mendengarkan buku ini.
Untuk yang belum tahu, HAMKA ini merupakan singkatan dari nama lengkap penulisnya: Haji Abdul Malik bin Karim bin Amrullah. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Beliau ini salah satu yang memajukan sastra di Indonesia, disebut dalam angkatan Balai Pustaka.
Apa yang terjadi sampai terusir?
“Aku ingat kembali malam itu, hujan rintik-rintik yang turun di atas rumah, di bawah udara bulan November yang amat sejuk, aku berjalan seorang diri tak tentu arah.”
TULISAN DI SAMPUL NOVEL TERUSIR KARYA HAMKA
Novel Terusir ini dibuka dengan surat dari seorang bernama Mariah, yang ditujukan kepada suaminya Azhar. Mariah seorang istri yang cantik dan memiliki anak berusia 7 tahun bernama Sofyan. Suaminya juga sayang padanya, tapi sepertinya ada yang tidak bahagia dengan kebahagiaan Mariah dan Azhar.
Mariah berusaha menjelaskan kepada Azhar, kalaupun dia melihat Mariah bersama lelaki lain di kamar tidur mereka, Mariah juga kaget dan tidak tahu kenapa lelaki itu tiba-tiba sudah di kamar.
Tapi Azhar tipe lelaki yang tidak mau mendengar penjelasan istri. Berkali-kali Mariah mengirimkan surat berusaha menjelaskan kalau semua hanya salah paham, tapi Azhar tidak mau mendengarkan. Pada hari itu, tanpa pikir panjang, Azhar langsung mengusir Mariah dari rumahnya. Surat-surat Mariah awalnya tidak direspon Azhar, sampai akhirnya setelah ngobrol dengan sahabatnya Abdul Halim, Azhar mulai menyadari ada kemungkinan kalau Mariah ini hanya difitnah oleh keluarganya yang tidak suka dengan Mariah.
Nasi sudah menjadi bubur…
Saat Azhar menyadari kesalahannya, dia berusaha mencari Mariah ke Medan (sesuai dengan alamat surat Mariah sebelumnya), tapi ternyata saat itu Mariah sudah ikut tempatnya bekerja ke pulau Jawa.
Mariah sebenarnya masih berusaha mengirimkan surat dari pulau Jawa, tapi Azhar juga sudah tidak di rumahnya lagi. Akhirnya surat-surat Mariah pun kembali lagi ke Mariah.
Bukan kisah bahagia
Nasib Mariah setelah diusir oleh Azhar ini benar-benar seperti jatuh tertimpa tangga. Ada sih bagian cerita yang cukup memberi harapan, tapi sepanjang cerita, hanya sedikit sekali bagian hidup Mariah yang membahagiakan.
Sebenarnya, kalau saja saya sudah membaca resume novel ini sebelumnya, ada kemungkinan saya tidak akan memulainya. Karena saya kan tim happy ending alias maunya membaca cerita yang ringan-ringan bahagia. Tapi, entah kenapa, walau cerita ini bukan kisah bahagia, ada yang membuat saya penasaran mendengarkan kelanjutan ceritanya.
Iya, saya penasaran bagaimana nasib Mariah yang berubah nama menjadi Neng Sitti, setelah dia dirampok oleh suami ke-2 nya. Aduh kasian sekali nasibnya, diusir suami pertama dan dirampok suami ke-2. Sementara itu, dia juga merindukan anaknya Sofyan yang ditinggalkannya ketika berumur 7 tahun.
Happy Ending
Spoiler nih? Hehhee, nggak sih. Cuma mau bilang, walaupun kisah Mariah aka Neng Sitti ini hidupnya penuh dengan kesedihan yang bertubi-tubi, tapi akhir cerita ini sendiri menurut saya happy ending. Mau tau kenapa happy ending? Spoiler nggak ya….
Oke, tanpa memberikan spoiler bagamana akhir dari kisah Mariah, saya mau kasih tau kalau kisah cinta anaknya Sofyan cukup bahagia. Sofyan mendapatkan gadis yang cantik dan pintar. Dia juga sempat hampir dijebak tapi kemudian cinta Sofyan dan Emi menang melawan jebakan orang yang tidak senang dengan kebahagiaan mereka. Kisah jebakan Sofyan dan Emi ini jadi seperti refleksi dari kisah Mariah yang dijebak juga.
Bagian yang menarik juga dari Novel Terusir ini adalah: banyak menggunakan bahasa Melayu. Misalnya saja penggunaan kata: bersolek, cepat tangan, cerai tembilang, orang gaji. Tapi walaupun menggunakan kata-kata Melayu, masih cukup bisa dimengerti (mungkin juga karena saya pernah tinggal di Medan).
Pelajaran dari novel Terusir
Seperti biasa, dari cerita sedih akan ada banyak pelajaran di dalamnya. Berikut ini hal-hal yang menurut saya ingin disampaikan oleh buku ini:
- Tentang suami, supaya lebih mau mendengarkan istri dan nggak gampang-gampang termakan omongan orang. Dengarkan penjelasan istri, jangan cepat mengambil kesimpulan berdasarkan apa yang dilihat saja. Karena apa yang terlihat belum tentu seperti apa yang kita pikirkan.
- Untuk wanita, jangan lupa belajar agama dan juga miliki keahlian/skill. Supaya, kalaupun tidak ada suami, kamu bisa tetap membiayai hidupmu.
- Untuk wanita, ketika memilih suami, pastikan kamu mengenal kelakuannya tentang cara memperlakukan wanita dan juga bagaimana dia dengan uang.
- Untuk yang masih pacaran, jangan mempercayai kalau ada yang bilang pasangan kamu nggak setia tapi orang tersebut tidak memberitahukan identitasnya dan hanya menghembuskan kabar bohong saja.
Di novel Terusir ini, orang terpelajar dipanggil Tuan. Saya jadi ingat dengan buku Selamat Tinggal karya Tere Liye yang menceritakan juga kalau salah satu tokohnya diajarkan ayahnya untuk memanggil penulis dengan sebutan Tuan. Panggilana yang menunjukkan rasa hormat. Sekarang ini rasanya sudah jarang ya mendengar panggilan Tuan, paling juga dipanggil Sir, atau Gan dari Juragan.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan tentang buku ini, tapi saya nggak ingin spoiler semuanya. Baca saja sendiri bukunya, ada di iPusnas kok. Atau kalau mau mendengarkan langsung saja cari di Storytel.
Jawaban pertanyaan saya
Untuk menjawab pertanyaan saya di awal membaca buku ini, ternyata walau buku ini sudah diterbitkan dari tahun 1960-an, ceritanya masih dekat sekali dengan kisah kehidupan jaman sekarang. Cerita cinta dan praharanya juga masih bisa saja terjadi di tahun 2022 ini. Walaupun mungkin komunikasi jaman dulu yang hanya surat-menyurat sekarang akan digantikan oleh komunikasi menggunakan teknologi internet.
Setelah membaca cerita Terusir dan juga sebelumnya novel Keberangkatan Nh. Dini, saya merasa karya sastra masa dulu ceritanya lebih menarik daripada karya sastra jaman sekarang. Mungkin saya salah jaman? atau ada yang salah dengan penulis jaman sekarang? Hehehe… Gimana menurut kamu?
Leave a Reply