Sejak bulan Maret saya memutuskan berlangganan Storytel sebagai alternatif terbaru tempat saya mendengarkan buku selain di Audible dan Scribd. Kali ini saya memilih untuk mendengarkan buku Tere Liye berjudul Selamat Tinggal. Salah satu alasan mendengarkan buku ini karena ada banyak yang sudah bercerita kalau di buku ini Tere Liye banyak mengecam tentang pembajakan. Saya juga sudah pernah menuliskan tentang hidup tanpa bajakan yang dimulai dari niat.
Walaupun sudah sering mendengar review berbagai buku Tere Liye, tapi ini buku pertama karya Tere Liye yang saya baca/ dengarkan di aplikasi Storytel.
Buku Selamat Tinggal ini merupakan tulisan fiksi, rasa opini dan curahan hati penulis. Buku yang diterbitkan GPU di tahun 2020 dan berjumlah 360 halaman ini bercerita realitas pembajakan berbagai karya cipta mulai dari buku, siaran langsung olahraga, film, sampai dengan lagu.
Sinopsis Buku Selamat Tinggal
Ada banyak bagian buku ini yang menarik untuk dikutip, apalagi karena ceritanya tentang seorang mahasiswa dari Sumatera jurusan Sastra yang sedang menyusun tugas akhir, dan tugas akhirnya adalah menelusuri jejak seorang penulis hebat bernama Sutan Pane yang menghilang di tahun 1965.
Dalam kisah di buku ini, Sutan Pane adalah seorang penulis yang menyuarakan ketidakadilan kepada pemerintah yang dia rasakan dan tidak bisa dibungkam. Tapi tidak banyak yang mengenalnya karena dia tidak menerbitkan buku apapun. Sintong Tinggal, si mahasiswa jurusan Sastra itu berniat mencari tahu lebih banyak tentang Sutan Pane sebagai tulisan tugas akhirnya.
Sutan Pane banyak menyuarakan tentang menuliskan apa saja dan tentunya sambil tetap menjaga kesesuaian antara perkataan, tulisan dan perbuatan atau yang lebih dikenal sebagai integritas. Bagaimana kita menggunakan tulisan sebagai kekuatan, tapi kita juga harus menunjukkan kalau perkataan, tulisan dan perbuatan kita sesuai dan tidak malah bertolak belakang.
Dalam cerita ini juga digambarkan berbagai realitas kehidupan Sintong Tinggal yang tidak sesuai antara keinginan dan kenyataan. Karena selama 6 tahun di Jakarta, dia membantu pamannya menjual buku bajakan. Walau hatinya menolak, dia tidak bisa berkata tidak karena pamannya lah yang membiayainya selama tinggal di Jakarta.
Tentang Dunia Menulis
Sintong Tinggal si anak jurusan Sastra merupakan penulis yang tulisannya juga biasa masuk kolom opini di surat kabar nasional. Banyak yang kagum dengan tulisannya termasuk seorang mahasiswi tingkat 2, Fakultas Ekonomi yang juga ingin belajar menulis. Tapi selain sebagai penulis, Sintong juga menjadi pemateri tentang kegiatan menulis. Dia menyemangati yang belajar menulis dengannya dengan mengatakan kalau semua tulisan itu bagus tapi butuh latihan dan terus berlatih.
Nasihat Sintong itu berlaku untuk semua orang. Bukan hanya menulis artikel di koran ataupun menulis buku. Menulis blog pun butuh terus berlatih dan berlatih.
Menulis itu bisa digunakan untuk menyampaikan apa yang kita pikirkan, menyampaikan suara-suara yang diam. Walaupun saya yakin sudah banyak yang menyerukan untuk berhenti membeli produk bajakan, tapi tetap saja ada banyak yang tetap mencari produk bajakan. Tapi ya, saya juga ingin mengajak pembaca blog ini juga untuk mulailah sedikit demi sedikit untuk berhenti mencari produk bajakan.
Kritik terhadap penerbit
Buku Selamat Tinggal ini juga seperti ingin menyuarakan kritik terhadap penerbit yang hanya mementingkan keuntungan dari menerbitkan buku. Harapannya tentu saja supaya penerbit lebih memperhatikan untuk mengembangkan dunia literasi juga, bukan sekedar mencari naskah yang kira-kira akan laris dibeli orang.
Kalau begini, tidak ada bedanya dengan penerbit buku bajakan, yang mencari buku yang kira-kira akan banyak dibeli orang dan menerbitkan untuk dijual dengan harga murah tanpa membayar royalti kepada penulisnya.
Sudut pandang pengguna/penjual bajakan
Siapa yang pernah berpikir seperti Buklik Maman yang membenarkan pembajakan karena merasa penulis-penulis juga pasti pernah menggunakan barang bajakan? Atau, siapa yang berpikir, sah-sah saja membeli buku bajakan karena ilmu pengetahuan itu milik Tuhan dan harusnya gratis?
Mungkin, semua orang pernah menggunakan barang bajakan dengan berbagai alasan. Pada masa mahasiswa, saya juga tidak mampu membeli buku teks yang asli dan akhirnya banyak menggunakan buku fotokopian. Tapi, pertanyaannya, setelah mampu untuk membayar, apakah masih ada yang memegang prinsip: semurah mungkin, bajakanpun tak mengapa?
Perkara bajakan ini bukan cuma buku saja sih. Tapi di buku ini seperti menggambarkan bagaimana orang yang berkarya dirugikan oleh orang-orang yang membajak. Bagaimana seorang penulis buku tidak mendapatkan apapun kalau bukunya dibajak, sementara pembajaknya beralasan membantu orang lain dengan menyediakan versi murah dari barang yang ada supaya lebih terjangkau.
Berhenti memakai bajakan mulai sekarang
Mental pembajak ini sulit sih dihapuskan, tapi sebenarnya kalaupun dulu pernah menggunakan, kita bisa berhenti kok mulai dari sekarang. Kalaupun tidak bisa membuat orang lain berhenti, kita bisa mulai dari diri sendiri dengan tidak membeli atau mencari barang bajakan.
Selama ada yang membeli, penjual bajakan akan tetap ada. Tapi kalau saya sih memilih untuk tidak lagi membeli barang bajakan. Toh saat ini ada berbagai layanan berlangganan yang harganya cukup terjangkau untuk bisa membac banyak buku ataupun menonton banyak film secara resmi.
Berani meninggalkan hal tidak baik
Kalau ada orang yang menuduh kita seperti Buklik Maman, ketika kita ingatkan jangan membeli produk bajakan ingatlah kalau kita memang tidak pernah sempurna. Tapi kita bisa berubah kalau kita mau. Kita harus berani mengucapkan “Selamat Tinggal” kepada hal-hal yang kita tahu tidak baik.
Buku Selamat Tinggal karya Tere Liye ini memang buku fiksi, bahkan ada kisah cintanya sedikit walau fokusnya lebih banyak berupaya mengingatkan kembali kenapa kita perlu membeli produk yang asli dan bukan barang bajakan.
Bagaimana dengan pembaca. Sudah melakukan apa saja sebagai upaya untuk mengurangi memakai produk bajakan? Atau masih seperti buklik Maman?
Leave a Reply