Review Buku: Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku

Judul buku ini sebenarnya nggak banget deh. Awalnya sempat terpikir kalau judulnya sekedar pancingan untuk orang-orang tertarik membacanya. Alih-alih tertarik, saya malahan jadi melewatkan buku ini ketika melihatnya di Storytel. Tapi, berhubung sudah akhir bulan, dan niat untuk memaksa diri membaca, akhirnya saya membaca blurb singkat dari buku ini dan berubah pikiran untuk mulai mendengarkannya di storytel.

ada di storytel juga
Kalau didengar dengan kecepatan 1.5 kali, cuma butuh 4 jam saja

Tentang Buku Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku

Buku ini kalau didengarkan di storytel cuma 4 jam saja (dengan kecepatan 1.5 kali dari normal). Buku karya Ruwi Meita ini diterbitkan tahun 2019 oleh Penerbit Bhuana Sastra dan memiliki 303 halaman.

gramedia digital
Karena penasaran dengan gaya bahasanya, akhirnya baca di Gramedia Digital

Dari ringkasan cerita yang diberikan, berkisah tentang seorang remaja bernama Imalovix yang hidup di tahun 3000-an atau sekitar 1000 tahun dari sekarang. Kehidupan di masa itu tentu saja berbeda dengan masa sekarang, udara yang tidak bisa langsung dihirup begitu saja sehingga setiap orang butuh baju pelindung, sampai dengan teknologi yang canggih sehingga kebanyakan orang bisa memilih memanen anak unggul dalam rahim kaca.

Imalovix yang lahir dari rahim asli memiliki tanda lahir yang membuatnya selalu menjadi bahan olok-olok. Dia merasa tidak bahagia karena dia berbeda. Ibu dan Kakeknya selalu meyakinkan Imalovix kalau dia istimewa walaupun anak rahim asli, tapi Imalovix tetap tidak percaya. Usaha kakeknya yang memberikan sebuah jurnal yang ditulis oleh seorang gadis bernama Kecubung yang hidup di tahun 2000-an, yang kurang lebih nasibnya sama tidak membuat Imalovix merasa lebih baik dan malah marah ke kakeknya.

Tapi saya tertarik mendengarkan lalu kemudian membaca buku ini di Gramedia Digital karena ada bagian terakhir dari blurb buku ini yang menyatakan: “Ada bagian dalam kehidupan ini yang harus tetap berjalan alami, dan ilmu pengetahuan tidak selamanya menjadi sebuah jawaban.”

Bagian dari blurb buku Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku

Tentang Ruwi Meita

Ini merupakan buku pertama karya Ruwi Meita yang saya baca. Ketika mulai mendengarkan lalu melanjutkan membacanya, saya bahkan tidak benar-benar membaca siapakah penulis buku ini. Setelah selesai membaca, barulah saya jadi kepo dengan karya-karya lain dari penulis buku ini.

Ternyata Ruwi Meita ini sudah punya banyak karya sejak lama. Dari komentar yang ada di goodreads, beberapa karyanya malahan bergenre horror. Saya bukan penggemar horror, baca fantasi saja agak rewel. Tapi dari kesan membaca buku yang ini saya beniat untuk membaca karya-karya Ruwi Meita yang lainnya. Mudah-mudahan saja tidak mengecewakan.

Saya sudah melihat ada beberapa buku karya Ruwi Meita di Gramedia Digital, sepertinya saya akan membaca buku Belenggu Ilse, dengan alasan buku itu terbit di tahun 2019 juga.

ruwi meita
Karya Ruwi Meita lainnya di Gramedia Digital

Hal yang menarik dari buku Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku

Yang pasti bukan judulnya yang bikin saya tertarik, tapi ada beberapa hal yang membuat saya memutuskan beralih dari Storytel dan kemudian membaca di Gramedia Digital.

1. Cerita fantasi yang membangun dunia baru

Novel ini genrenya science fiction, fantasy dan romance dibungkus jadi satu. Walaupun romancenya cerita remaja usia belasan, tapi ada selipan penjelasan ilmiah yang masuk akal selain dunia yang dibangun menggambarkan bagaimana kehidupan ketika teknologi semakin canggih.

Dari penggambaran teknologi televisi, transportasi, alat pelindung ketika di luar, dan bagaimana mereka harus melalui berbagai tahapan membersihkan diri dari virus ketika memasuki sekolah, semuanya sepertinya akan menarik kalau suatu hari novel ini difilmkan.

Bukan cuma dunianya saja yang dideskripsikan ulang, tapi juga penulis berusaha membuat bahasa baru yang sebenarnya sih serapan dari bahasa daerah yang ada di Indonesia. Nama-nama tokohnya juga unik, panggilan kepada ibu, bapak dan guru juga menggunakan bahasa yang tentunya tidak kita gunakan saat ini. Tapi tidak usah khawatir, karena selalu ada catatan kaki yang menjelaskan apa kata yang digunakan oleh mereka, dan sebagian besar toh tetap bisa dimengerti dengan mudah. Saya jadi agak penasaran juga, seandainya buku ini diterjemahkan ke bahasa asing, kira-kira akan seperti apa ya mereka menggambarkan kalau bahasanya itu berbeda dengan bahasa yang digunakan sekarang.

2. Masalah polusi dan virus, relate banget habis pandemi begini

Walaupun bukunya terbit sebelum pandemi, tapi cerita kalau di masa depan nanti akan ada kemungkinan kita harus pakai baju pelindung ketika keluar rumah itu bikin saya teringat dengan masa awal pandemi Covid-19, ketika orang-orang merasa perlu memakai baju hazmat untuk keluar rumah. Jadi ingat dengan masalah Chiang Mai yang juga mengalami polusi di awal pandemi.

Di buku ini sih dijelaskan bagaimana kalau kita bukan orang yang cukup kaya, bahkan di rumah pun kita tetap harus menggunakan masker khusus untuk bisa bernafas. Ada banyak penyakit dan alergi yang menjadi penyakit sehari-hari kalau tidak menjaga diri.

Berbagai penyakit dan alergi yang ada, memaksa manusia untuk menciptakan alat-alat teknologi canggih yang ide awalnya untuk membuat hidup lebih baik. Tapi seperti halnya berbagai hal baru, akan selalu ada 2 sisi hasil hal baru tersebut. Teknologi rahim kaca contohnya di sini awalnya untuk membantu menghasilkan anak dengan kualitas unggul, tapi ternyata akhirnya membuat manusia tidak bisa saling bersentuhan seperti biasa.

Membaca dan Menulislah…

Rahim kaca yang disebutkan di buku ini berbeda dengan teknologi IVF yang kita kenal saat ini. Karena ceritanya rahim kaca ini benar-benar pertumbuhan janin itu terjadi di dalam kaca dan bahkan bisa dipanen dalam waktu 3 bulan saja. Iya, di buku ini anak dipanen bukan dilahirkan karena kan dikeluarkan dari rahim kaca ceritanya.

3. Cerita remaja yang ringan tapi ada pesannya

Buku ini banyak mengenalkan istilah biologi. Mulai dari penjelasan vaksin, penjelasan tentang pembuatan anak, dan juga penjelasan tentang tumbuh-tumbuhan di hutan. Pembaca selain diajak berfantasi, juga mendapat pengetahuan tentang bunga seperti kecubung.

Pesan lain dari buku ini tentu saja tentang masalah perundungan. Bagaimana sebenarnya terkadang kita hanya perlu memperbaiki konsep diri supaya tidak ambil pusing dengan apa kata orang. Oh ya, satu lagi sih, ketika kita berprestasi di sekolah, biasanya para perundung akan terdiam dengan sendirinya dan kemudian mau tak mau harus mengakui kalau apa yang mereka lakukan itu salah.

Penutup

Sebenarnya ada banyak hal yang mungkin terlewat untuk dituliskan, ada banyak insight dari buku ini dan terutama juga tentang menulis. Bagaimana kita perlu untuk membaca dan menulis untuk mengetahui sesuatu dan untuk menceritakan masa kita saat ini.

Buku ini pilihan tepat buat saya untuk kembali bersemangat menuliskan cerita perjalanan selama di Indonesia yang sudah hampir berakhir ini.


Posted

in

,

by

Comments

3 responses to “Review Buku: Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku”

  1. Shanty Dewi Arifin Avatar

    Menarik juga nih temanya. Tadinya kupikir ini bukan judul buku loh. Menurutku tema-tema science fiction memang selalu bikin semangat membaca karena mengandung unsur hal-hal unik yang baru kita tahu.

    1. risna Avatar

      Iya mbak, ayo dibaca mbak, aku tuh kemarin sampai lupa menuliskan kenapa judul bukunya begitu. Tapi ya udahlah mungkin kalau yang udah mulai penasaran biar baca sendiri aja ya bukunya, hehehe

  2. […] lagi di Storytel. Pilihan jatuh pada buku Ruwi Meita berjudul Rumah Lebah. Sewaktu membaca buku Mereka Bilang Ada Toilet di Hidungku sudah berpikir untuk membaca karya Ruwi Meita yang lain. Tapi siapa sangka kalau ceritanya ini […]

Leave a Reply