Film Catatan Harian Menantu Sinting, Generalisasi Pasangan Batak dan Inang Mertua

Film Indonesia mulai banyak lagi tahun 2024 ini. Bukan hanya film horror, tapi juga banyak mengangkat cerita drama kehidupan. Kali ini mau cerita film yang diangkat dari novel laris karya Rosi L. Simamora.

Review tentang novelnya sudah pernah saya tuliskan sejak tahun 2019 lalu. Konon katanya Sunil Soraya butuh waktu hampir 5 tahun mempersiapkan film ini. Mungkin juga salah satu alasannya karena pandemi.

Sinopsis Catatan Harian Menantu Sinting

Jalan cerita film Catatan Harian Menantu Sinting yang di Netflix diterjemahkan juga menjadi How to Save the Marriage ini tidak jauh berbeda dengan cerita novelnya. Garis besar ceritanya tentang orang batak juga miriplah dengan cerita Induk Gajah. Bagaimana orang batak yang sudah menikah, diharapkan segera memberikan keturunan laki-laki.

Minar dan Sahat tinggal di rumah Ibu Sahat karena mereka belum cukup memiliki dana untuk membeli rumah sendiri. Hasilnya, ibu mertua langsung menghibahkan kamar utama lengkap dengan ranjang keramat yang konon bisa langsung memberikan anak. Padahal Minar dan Sahat memutuskan untuk menunda memiliki anak.

Setelah ketahuan kalau mereka menunda, akhirnya mereka disuruh janji untuk tidak lagi pakai kontrasepsi. Eh ternyata mereka tak kunjung hamil juga. Mereka bahkan tidak boleh pindah ke rumah sendiri kalau belum hamil, walau sudah punya cukup dana.

Setelah negoisasi cukup alot, akhirnya mereka diijinkan untuk pindah ke rumah sendiri. Tetapi, baru saja mereka merasa bisa berduaan tanpa gangguan, eh si ibu mertua ternyata menemukan berbagai alasan untuk sering menginap di rumah mereka.

Selamatkan Pernikahan dari Ibu Mertua

Dalam cerita film ini, intinya sih Minar merasa ibu mertuanya ini terlalu merongrong kehidupannya. Semua dikomentari dan kembali ke penekanan kapan dia akan hamil. Sampai akhirnya Minar mengajak Sahat periksa kesuburan ke dokter. Tanpa diduga, si ibu mertua minta ikut juga karena merasa sebagai yang paling berkepentingan untuk kehamilan Minar.

Ketika hasil pemeriksaan menyatakan kondisi kesehatan sperma Sahat yang menyebabkan Minar belum berhasil hamil juga, ibu mertua yang paling sibuk menjadi polisi kesehatan buat Sahat. Termasuk mengingatkan Sahat berhenti merokok supaya spermanya sehat. Sayangnya mengingatkannya ini di Facebook Sahat, kebayang dong malunya Sahat diumumkan ke seluruh dunia soal kekurangannya.

Sejak pemeriksaan dokter, Sahat jadi berubah. Kepercayaan dirinya seperti hancur, ditambah bumbu ibunya yang mengumumkan secara tidak langsung di FB. Hubungan Minar dan Sahat yang biasanya berapi-api jadi mulai redup. Tekanan tentunya paling besar di Sahat.

Minar sebagai istri nggak diam saja. Dia mengingatkan Sahat kalau mereka menikah karena saling mencintai. Ada atau tidak ada anak, yang menikah itu ya mereka berdua. Mereka harus menyelamatkan pernikahan mereka, walau kemungkinan mereka tidak akan memiliki anak selamanya.

Setelah itu, situasi menjadi membaik lagi. Sahat akhirnya tidak lagi merasa tertekan dengan tuntutan ibunya soal anak. Api cinta Sahat dan Minar kembali seperti semula.

Eh tapi, kalau mau tahu apakah akhirnya Minar dan Sahat punya anak sesuai keinginan ibu Sahat, tonton sendiri aja deh ya. Yang jelas, di akhir dari film ini, Minar menyadari kalau ibu mertuanya itu mengesalkan bukan karena jahat. Ibu mertuanya malahan selalu berniat baik kok, tapi caranya aja yang sering salah.

Kesan Menonton Film Catatan Harian Menantu Sinting

Saya membaca novelnya memang sudah lama banget, jelas saya sudah banyak lupa tentang detil dari ceritanya. Tapi ya garis besarnya saya masih ingat. Saya juga masih ingat kalau saya banyak kurang setujunya dengan si Minar, tokoh dalam novel yang bercerita terlalu vulgar dan menurut saya agak keterlaluan sikapnya ke mertuanya.

Salah satu yang terjadi dalam pesta orang batak, tugas bawa beras di kepala adalah pekerjaan perempuan.

Walau kesan agak kurang positif terhadap novelnya, tetap saja saya menonton filmnya ketika sudah masuk Netflix. Ada banyak hal yang menurut saya terlalu menggeneralisasi mertua batak dan adat batak. Film ini terselamatkan di bagian akhir Minarnya sadar kalau mertuanya ternyata bermaksud baik.

Kalau di novelnya saya gak mendapatkan Minar ini boru apa, di film saya agak bertanya-tanya kemana keluarga besar Minar, termasuk orang tuanya. Ternyata menjelang akhir ada penjelasan tentang orangtua Minar. Kalau keluarga besarnya, mungkin nggak dianggap penting, karena memang ceritanya berpusat di keluarga Purba.

Sebagai orang batak, saya juga merasa kalau film ini masih kurang dapat nilai rasa bataknya. Padahal ada cukup banyak digambarkan pesta adat batak di film berdurasi sekitar 2 jam ini.

Bagian ini sanggul Minar di pesta pernikahan abang tertua dari Sahat berasa ada yang kurang.

Mungkin karena sudah ada film Ngeri-ngeri Sedap dan serial Induk Gajah yang mana Tika Panggabean jauh lebih cocok jadi mamak-mamak batak dan pemeran pendukung lainnya juga lebih berasa aja bataknya dibandingkan di film ini.

Mungkin juga karena saya belum pernah melihat akting dari para pemeran film ini seperti Ariel Tatum yang jadi Minar, Raditya Dika yang jadi Sahat, dan Lina Marpaung yang jadi ibunya Sahat alias ibu mertua Minar. Entah kenapa, walau mereka ngomong pakai bahasa batak di banyak scene, rasanya tetep ada yang kurang.

Terlepas dari kurang berasa batak dan terasa menggeneralisasi batak, film ini cukup berasa ada bagian lucunya kok. Lucu karena kelakuan ibu si Sahat yang sering salah sambung dengan berbagai hal. Untungnya digambarkan Minar cukup sabar menghadapi ibu mertuanya.

Ibu mertuanya juga sebenarnya terlihat selalu merasa Minar lebih pintar dari anak lelakinya, Sahat. Padahal biasanya seorang ibu akan menganggap anaknya yang paling pintar kan. Mungkin Minar bisa sabar karena akhirnya ibu mertuanya menjadi inspirasinya menulis novel yang kemudian laris dijual.

Bukan hanya masalah orang Batak

Mungkin ada yang jadi takut menikah dengan orang batak gara-gara berbagai cerita tentang keluarga batak di film atau serial Indonesia belakangan ini. Tetapi sebenarnya sih, hal seperti menuntut cepat punya anak bukan hanya terjadi di keluarga batak saja kok.

Pelajaran utama dari film ini adalah: menikah itu janji sehidup semati sebagai pasangan. Kalau ada masalah, dikomunikasikan berdua. Jangan malah diam saja dan malah terlarut dengan tuntutan dari pihak lain. Perkara punya anak atau tidak, anak perempuan atau laki-laki, tidak seharusnya membuat keributan dalam rumahtangga.

Catatan tambahan dari saya: kenali keluarga calon pasangan sebelum menikah, terutama calon mertua. Pastikan pasangan akan menjadi jembatan antara kita dan keluarga besarnya ketika ada kemungkinan konflik atau salah pengertian di kemudian hari.

Kalau ada yang penasan ingin melihat apa saja kelakuan ibu mertua Minar yang bikin Minar kesel-kesel tapi berakhir terharu, langsung tonton saja ya di Netflix.


Posted

in

, ,

by

Comments

Leave a Reply