Isi tulisan ini
Kali ini mau review film Indonesia yang diadaptasi dari novel Ika Natassa dengan judul yang sama. Alasan nonton film ini ya karena baru saja mendengarkan bukunya dan tentunya karena bintangnya Nicholas Saputra dan Putri Marino.
Saya menontonnya sudah beberapa bulan lalu, sejak film ini masuk ke Netflix. Baru ingat kalau belum menuliskan reviewnya. Oh ya, bukunya juga belum pernah direview, tapi ya sudahlah langsung cerita filmnya saja.
Namanya adaptasi, tentunya ceritanya tidak sama persis. Akan tetapi garis besar ceritanya masih sama. Penyelesaian masalahnya juga sama. Setidaknya yang saya ingat sih begitu. Anyway, nggak perlu baca bukunya kok sebelum menonton film ini.
Sinopsis The Architecture of Love (TAOL)
Tokoh utama dari film ini seorang wanita penulis bernama Raia (Putri Marino) dan arsitek bernama River (Nicholas Saputra). Cerita lebih banyak menggunakan sudut pandang Raia sebagai penulis. Karena ceritanya dimulai dengan Raia yang seorang penulis terkenal dan bukunya sudah difilmkan.
Kisah yang dituliskan Raia banyak diangkat dari kisah kehidupannya. Suaminya menjadi sumber inspirasinya. Di hari saat dia mendapatkan penghargaan atas film yg diadaptasi dari karyanya, dia mendapati kenyataan pahit yang membuatnya jadi sulit untuk menulis kembali.
Raia kabur ke New York untuk mencari inspirasi. Di sana dia bertemu dengan River, seorang arsitek dari Jakarta yang banyak menceritakan tentang gedung-gedung di New York, yang membuatnya bisa mulai menulis lagi. Judul buku yang dituliskan Raia selama di New York, berjudul The Architecture of Love.
Siapakah River, sang arsitek yang selalu memakai kaos kaki hijau? Pertemuan yang awalnya tak sengaja, menjadi pertemuan yang dirutinkan. Belakangan Raia mengetahui kalau River juga menyimpan luka dan kabur dari Jakarta ke New York untuk melupakan kisah hidupnya.
Kabur ke New York
Sejak awal, film ini seperti juga bukunya, menjual New York sebagai tempat yang lebih romantis daripada Paris. Berhubung saya belum pernah ke Paris maupun New York, saya nggak bisa mendebat mana yang lebih romantis. Menonton film ini membuat saya sekilas berpikir: kesannya kok New York deket banget ya, sampai semua orang yang kabur milihnya ke New York.
Memang dikisahkan kalau mereka sudah cukup sukses dengan pekerjaannya dan punya dana yang cukup untuk sekedar kabur dari kenyataan ke New York. Tentunya tidak semua orang bisa kabur dengan mudah ke New York. Kebetulan juga, mereka sudah punya tempat tinggal karena ada teman atau adik yang juga tinggal di New York, jadi masalah penginapan tidak lagi jadi pengeluaran ekstra. Eh kok jadi membahas pikiran yang kemana-mana.
Pertemuan Raia dan River pertama kali secara tidak sengaja di pesta tahun baru. River sedang membuat sketsa (ceritanya arsitek selalu suka menggambar sketsa dong), dan Raia sedang berusaha mencari ide untuk dituliskan. Selain kesamaan bahwa mereka sedang kabur dari masalah ke New York, mereka juga sebenarnya sama-sama tidak menyukai pesta malam tahun baru. Raia ada di sana karena temannya dan River ada di sana karena pesta itu ada di rumah adiknya.
Setelah pertemuan pertama di malam tahun baru, mereka bertemu lagi di taman. Lagi-lagi River sedang menggambar sketsa dan Raia sedang berusaha menulis. Pertemuan kedua ini akhirnya membuat mereka mulai lebih banyak ngobrol.
Film ini isinya ya seperti menonton orang yang sedang pedekate aja. Mereka terlihat mulai terkoneksi dengan cerita kesukaan mereka tentang New York. River sang arsitek yang lebih banyak cerita tentang gedung-gedung di New York, dan Raia yang sebenarnya sedang mencari ide tulisan malah jadi keidean dari cerita-cerita River.
Menyembuhkan Trauma
Dari obrolan tentang gedung di New York, sedikit demi sedikit mereka mulai saling menceritakan kehidupan pribadinya. Tentunya mereka tidak langsung menceritakan semuanya. Hal yang membuat trauma tetap disimpan rapat-rapat.
Walau mulai ada rasa saling suka, masing-masing punya keraguan untuk menjalin hubungan karena takut mengalami kekecawaan dan kesedihan lagi. Hubungan yang awalnya terasa mulus dan bikin penonton merasa ikut jalan-jalan di New York akhirnya mulai terasa lambat.
Bagaimana akhirnya mereka menyembuhkan trauma masa lalunya? Tentu saja seperti kata orang bijak, semua butuh waktu dan proses. Kisah TAOL ini juga begitu. Butuh waktu dan proses masing-masing untuk menyembuhkan trauma dulu, kalau mau ada akhir yang bahagia.
Kembali ke Tanah Air
Kabur itu nggak bisa selamanya. Mereka tetap harus kembali ke tanah air. River yang lebih dahulu kembali ke Jakarta, karena biro arsiteknya sudah membutuhkannya kembali. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda atau dialihkan ke orang lain.
Raia masih meneruskan di New York, sampai dia selesai menulis novelnya. Walau belum berakhir bahagia dengan River, dia sudah bisa membuat akhir cerita dari novelnya.
Apakah akhir cerita novelnya sama dengan akhir kisah cintanya dengan River? Yang ini tonton sendiri atau baca bukunya ya.
Sebenarnya sih, kalaupun saya tuliskan spoilernya (dan kemungkinan kebanyakan orang sudah terpapar spoiler), cerita The Archithecture of Love ini tetap menarik untuk ditonton dan dibaca.
Rekomendasi
Salah satu daya tarik cerita TAOL ini adalah memberi wawasan tentang arsitektur gedung di New York, dan juga kalau di bukunya ada banyak juga tentang dunia penulis.
Kalau bosan dengan film Indonesia yang kebanyakan horor, atau penasaran Nicholas Saputra jadi River dan bukan Rangga, langsung deh nonton film TAOL garapan Starvision Plus ini di Netflix.
Leave a Reply