Isi tulisan ini
Akhirnya mendapat kesempatan menonton film Indonesia yang banyak dibicarakan orang Batak. Apalagi kalau bukan karena ceritanya tentang keluarga Batak. Sebagai orang Batak dan merantau sejak kuliah, saya sudah banyak mendengar tentang film yang isunya relate banget dengan diri saya sendiri. Makanya setelah melihat film ini masuk ke Netflix, saya langsung deh menontonnya.
Film ini padahal baru loh tayang di bioskopnya bulan Juni 2022 yang lalu, tapi ketika saya mudik kemarin sudah tidak ada lagi di bioskop. Senang sekali film ini masuk ke Netflix nggak pakai lama.
Sinopsis Cerita Ngeri-Ngeri Sedap
Ceritanya awalnya terlihat sederhana, tentang orangtua di kampung yang merindukan 3 anak lelakinya yang setelah lulus dan sukses, jadi sulit untuk pulang. Akan tetapi, seiring berjalan waktu, akan terlihat juga bahwa selain memperkenalkan keindahan Danau Toba dan juga sedikit adat Batak, film ini membahas tentang nasib perempuan yang tidak didengar, dan bagaimana lelaki Batak yang tidak tahu caranya mendengarkan orang lain dan selalu merasa paling benar.
Keluarga Purba ini memiliki 4 orang anak, 3 orang lelaki merantau dan 1 orang yang perempuan tinggal bersama dengan orangtuanya. Bapak ibunya bekerja sebagai petani di kampung yang terletak di sekitar Danau Toba.
Anak pertama bernama Domu, lelaki tertua di keluarga dan bekerja sebagai pegawai BUMN di Bandung. Konon sudah 6 tahun tidak pulang. Dia berencana menikah dengan mojang Sunda, dan tentu saja ditolak oleh bapaknya yang menganggap kalau anak pertama harusnya meneruskan tanggung jawab adat. Bagaimana mungkin menjalankan adat kalau menikah dengan wanita yang tidak mengerti adat Batak.
Anak kedua bernama Sarma, merupakan satu-satunya perempuan dari 4 bersaudara. Dia sudah bekerja menjadi pegawai negeri di kantor kecamatan dekat rumah. Sehari-harinya ya tentu mengurus orangtuanya di kampung.
Anak ketiga bernama Gabe dan tinggal di Jakarta dan sudah 4 tahun tidak pulang. Walaupun dia lulusan sekolah hukum tapi dia lebih memilih untuk menjadi pelawak. Sudah cukup ternama dan sering masuk televisi. Walau dia cukup sukses dan bahagia sebagai pelawak, bapaknya tidak senang dengan pilihan hidupnya. Bapaknya tetap mengharapkan Gabe untuk berkarir sebagai jaksa atau hakim.
Anak paling kecil bernama Sahat, setelah lulus kuliah dia memilih berwiraswasta dan tinggal di Yogyakarta. Sudah sekitar 3 tahun dia tidak pulang. Dia lebih memilih mengurus seorang kakek tempat dia KKN daripada pulang ke rumahnya. Padahal seharusnya sebagai anak lelaki terkecil, dia punya tugas untuk mengurus orangtuanya (sekaligus yang akan mewarisi rumah orangtuanya).
Ceritanya ada rencana untuk membuat pesta adat sulang-sulang pahompu (memberi makan cucu). Tapi kalau mereka sebagai cucu laki-laki dari Ibu dari bapaknya tidak datang, apalah artinya acara adat tersebut. Bapak dan Ibunya akhirnya pura-pura akan bercerai dengan harapan tiga anak lelaki tersebut akan segera datang.
Memang, orang Batak dan orang Kristen ini ceritanya akan merasa malu sekali kalau sampai ada perceraian dalam keluarga. Rasanya, bukan hanya orang Batak sih, hampir di semua keluarga, pasti malu kalau ada kasus perceraian. Karenanya, tentu saja 3 anak pak Purba langsung terbang ke bandara Silangit dengan harapan untuk mendamaikan orangtuanya.
Isu dalam film Ngeri-ngeri sedap
Ada beberapa isu yang terjadi di dalam film ini dan rasanya bukan hanya terjadi di keluarga Batak. Tapi sekali lagi, masalahnya umumnya terjadi di orang Batak.
- Masalah bapak yang menuntut anak mengikuti maunya dan tidak mau mendengar apa kata orang lain termasuk istri. Menurut bapak Domu, adat di atas kebahagiaan anak-anaknya. Jadi, dia merasa semua anaknya harusnya mengikuti kemauannya atas nama adat.
- Anak-anak yang tidak ingin melawan tapi juga tidak bisa mengikuti semua kemauan bapaknya. Mereka sebenarnya sayang dengan ibunya, tapi karena bapaknya selalu menuntut untuk mengikuti kemauannya semata, mereka yang juga sebenarnya meniru bapaknya akhirnya enggan untuk pulang ke rumah orangtuanya.
- Tetangga yang suka manis di depan. Ini terjadi dalam obrolan di lapo tuak. Mereka selalu memuji-muji kalau Pak Purba ini berhasil menyekolahkan anak-anaknya. Mereka tapi secara tidak langsung juga memberikan tekanan kepada Pak Purba supaya anak pertama jangan sampai menikah dengan orang Sunda, anak ke-3 lulusan hukum kenapa jadi pelawak (walaupun memuji tapi sebenarnya ya gitu deh), dan anak ke-4 kenapa malah mengurusi orangtua lain alih-alih dari orangtua sendiri. Tetangga seperti ini sangat tipikal sekali ya, bukan di orang Batak saja, saya yakin ada di mana-mana yang seperti ini. Hasilnya ya pak Purba jadi semakin ngeyel ingin anaknya mengikuti maunya supaya dia tidak merasa malu.
- Suara perempuan tidak didengarkan oleh lelaki yang merasa dirinya yang paling benar. Di dalam cerita ini, istri pak Purba selalu menjadi orang yang menelpon anak-anaknya karena anak-anaknya tidak mau lagi ngomong dengan bapaknya. Tapi hasilnya tetap saja karena bapaknya mendikte istri untuk: “nurut saja apa kataku,” hasilnya ya anak-anaknya makin menjauh termasuk ke ibunya juga.
Hal-hal yang terjadi ini dibahas dengan cukup cepat dari awal cerita. Penyelesaiannya seperti apa? Ya mendingan ditonton sendiri ya.
Kesan menonton film ini
Kalau melihat dari susunan pemainnya, film ini dibintangi oleh sekumpulan pelawak. Film ini cukup ada bagian lucunya walaupun akan ada bagian yang membuat kita akan merasa emosi dari masing-masing karakter. Ya sebagai anak, dan sebagai orangtua, semuanya saya bisa pahami perasaannya. Menarik mengikuti bagaimana penyelesaian masalah keluarga Purba ini.
Sebagai orang Batak yang besar di Medan, saya paham dengan ide cerita ini. Tapi menurut saya, permasalahan yang disuguhkan oleh film ini bukan hanya terjadi di orang Batak, tapi banyak keluarga yang seperti ini. Keluarga di mana orangtua merasa sudah melakukan segalanya untuk anaknya dan merasa kecewa ketika anak-anaknya tidak mendengarkan apa yang menjadi keinginan hati mereka. Juga tentang anak-anak yang ingin membahagiakan orangtua, tapi tidak mau didikte karena merasa sudah lebih tahu apa yang terbaik untuk mereka.
Saya adalah wanita Batak yang mewakili 3 anak lelaki di keluarga dalam film ini. Seperti Domu, saya menikah bukan dengan orang Batak. Kalau Gabe lulus sekolah Hukum tapi tidak jadi jaksa atau hakim, saya lulus sekolah teknik tapi malah tidak bekerja dan jadi ibu rumah tangga. Saya juga merantau jauh dari rumah seperti Sahat yang setelah lulus kuliah ya menetap di kota lain. Saya sangat bisa merasakan emosi dari argumen 3 anak lelaki tersebut ketika bapaknya ingin memaksakan versi kebahagiaan menurut yang dia tau. Dalam hati saya bersyukur kalau saya tidak harus berargumen dengan orangtua saya ketika saya mengajukan calon suami yang bukan orang Batak. Mama saya juga tidak mengecam dengan pilihan saya yang ikut suami merantau jauh dari rumah.
Secara keseluruhan, saya suka dengan penyelesaian dari konflik yang ada di film ini. Walaupun saya tidak suka dengan ide cerita orangtua membohongi anaknya supaya anaknya pulang.
Hal yang mengganjal dari film ini
Saya bukan kritikus film, tapi sebagai orang Batak, saya merasa ada beberapa hal yang mengganjal dari film ini. Tapi tentunya ganjalan ini bisa jadi hanya saya saja yang merasakannya dan tidak mengurangi hal-hal baik yang ada di film ini.
Logatnya kurang natural
Ketika mendengar orang ngomong terlalu Batak, di situlah terasa kalau mereka nggak natural Bataknya. Mungkin juga karena saya sudah lama nggak berada di Medan, jadi udah nggak ingat rasanya ketika semua orang ngomong dengan logat Batak.
Tapi, logat orang Sunda yang jadi calon istri Domu juga terasa kurang luwes. Kalau untuk pak Pomo saya kurang bisa berkomentar, karena saya tidak pernah tinggal lama di Yogya.
Tapi kalau menurut pak suami, kalau kami ke Medan dan saya berkumpul dengan keluarga saya, dia juga merasakan semua orang jadi batak banget termasuk saya, hehehe. Jadi, sepertinya kemungkinan saya merasa logat dalam film ini tidak natural karena saya sudah lama tidak ke Medan saja.
Tidak bertemu anak lebih dari 3 tahun
Di awal diceritakan kalau 3 anak lelaki dari keluarga ini tidak pulang bertahun-tahun, padahal ceritanya anak-anaknya sudah cukup sukses. Walaupun bandara Silangit baru ada beberapa tahun belakangan ini, tapi sebenarnya Danau Toba itu tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bandung ataupun Yogyakarta.
Mamaknya merasa suaminya lah yang menjauhkan anak-anaknya karena anaknya malas ribut dengan bapaknya. Waktu mamaknya ingin pergi sendiri menemui anak-anaknya, bapaknya juga bilang itu namanya menerima keputusan anak-anaknya dan melarang istrinya pergi bertemu anak-anaknya.
Jadi memang anak-anaknya tidak pulang bukan karena masalah biaya, tapi karena mereka enggan bertemu dengan bapaknya. Tapi masa sih anak-anak ini nggak rindu sama mamaknya?
Pesta Adat Kurang Meriah
Dalam ceritanya, bapaknya ingin mengadakan pesta adat untuk oppung perempuan mereka yang dulu ketika menikah tidak menggunakan adat lengkap karena tidak ada biaya. Tapi entah kenapa rasanya pesta adatnya kurang meriah. Baju yang dikenakan cucunya juga terlalu biasa saja. Kalau mereka memang sudah cukup sukses di luar kota, biasanya walaupun dalam waktu ekspres, mereka akan mengusahakan membeli jas dan bukan pakai kemeja saja.
Pemandangan Danau Toba-nya seperti tempelan
Ada satu scene di mana anak-anak mengajak orangtuanya piknik dan gambaran Danau Toba terlihat di belakangnya. Entah kenapa, karena kameranya terasa berputar terus menerus, saya merasa kalau mereka tidak benar-benar syuting di lokasi tersebut. Rasanya pemandangan danau Tobanya hanya tempelan semata. Danau Toba memang indah, sayang sekali mereka tidak ditunjukkan bermain di pantainya.
Mungkin juga karena situasi pandemi, pengambilan filmnya tidak bisa benar-benar 100 persen di danau Toba? Bagian ini sebenarnya tidak merusak jalan cerita, cuma agak mengurangi keindahan Danau Toba-nya saja.
Pesan dari film ini
Walau ada beberapa hal mengganjal, tapi pesan dari film ini cukup mendalam tentang keluarga. Tentang menjadi orangtua, menjadi anak, dan bagaimana menyikapi adat. Saya berharap ada lebih banyak film keluarga dengan latar belakang budaya yang ada di Indonesia seperti film Ngeri-ngeri Sedap ini.
Sebagai anak, kita perlu juga sering-sering berkomunikasi dengan orangtua kita. Kalaupun ada hal yang kita tidak setuju dengan orangtua kita, ya tetap saja harus dikomunikasikan. Sebagai perantau, usahakan untuk bertemu. Kalau memang tidak bisa pulang, bisa kok mengundang orangtua untuk datang ke kota kita.
Sebagai orangtua, kita juga perlu belajar terus menerus. KIta tidak bisa memaksakan apa yang terbaik menurut kita. Selalu ada jalan tengah antara adat dan kebahagiaan keluarga. Jangan sampai adat membuat hidup kita atau anak-anak kita jadi tidak bahagia.
Film ini juga ingin mengingatkan kalau sekarang ini mau ke Danau Toba, sudah ada Bandara Silangit yang lebih dekat kalau mau berwisata ke sana. Kalau dulu kan harus ke Medan dulu, lalu naik mobil paling tidak 6 jam, sekarang bisa lebih dekat kok dari Bandara Silangit.
Rekomendasi
Tentu saja saya merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh siapa saja. Harapannya untuk lelaki Batak supaya belajar mendengar orang lain. Untuk yang merantau, supaya ingat kampung halaman, dan untuk yang bukan orang Batak, percayalah nggak semua lelaki Batak seperti yang digambarkan di film ini.
Film keluarga Batak ini memang berusaha memberi kesan lebih terhadap segala sesuatunya supaya lebih dramatis saja. Pemerannya para komedian yang memiliki darah Sumatera mulai dari Tika Panggabean, Arswendy Nasution, Boris Bokir, Gita Bhebita, Lolox dan Indra Jegel ini membuat film Ngeri-ngeri Sedap menjadi cukup lucu selain haru.
Yuklah langsung ditonton di Netflix!
Leave a Reply