Isi tulisan ini
Saya ada pertanyaan buat pembaca: kalau misalnya kita sedang mengerjakan sesuatu yang tenggat waktu alias deadline sudah mendekat, lalu ada kabar kalau tenggat waktunya diundur beberapa waktu kemudian, apakah kamu akan:
- tetap menyelesaikan pekerjaan sesegera mungkin, ataukah
- berhenti mengerjakan dan menarik napas lega untuk kemudian menyelesaikan menjelang tenggat waktu terbaru yang diberikan?
Saya tahu idealnya sebagian besar akan bilang ya kerjakan saja, toh sekarang atau nanti, pasti harus dikerjakan. Tapi, pada kenyataannya belum tentu yang sudah tahu itu akan bergegas menyelesaikan. Karena toh waktunya dianggap masih lama.
Saya juga termasuk yang suka menunda menyelesaikan ketika tahu tenggat waktu diundur. Lalu menyesali kenapa tidak dikerjakan dari awal pada saat mulai panik menjelang tenggat waktu.
Ketika sedang bertanya-tanya tentang kebiasaan menunda dan tenggat waktu ini, kebetulan saya lagi agak rajin mendengarkan blinkist yang berisikan resume dari berbagai buku. Kapan-kapan saya akan menuliskan tentang blinkst ini ya. Ada 2 buku terkait topik penunda dan tenggat waktu yang isinya mirip dan membuat saya ingin menuliskannya di sini.
Kenapa menunda?
Kenapa sih sebenernya kita saya suka menunda menyelesaikan? Alasan tiap orang bisa berbeda. Ada orang yang mungkin memang super sibuk dan punya banyak pekerjaan, tapi saya menunda bukan karena ada banyak pekerjaan. Untuk mengetahui dan berhenti menjadi penunda yang selalu bekerja menjelang tenggat waktu, saya perlu mengenali alasan menunda menyelesaikan sesuatu.
Biasanya ada saya suka menunda itu ada 2 alasan: antara terlalu percaya diri (sedikit anggap enteng) kalau pasti selesai pada waktunya, atau karena merasa pekerjaannya terlalu sulit dan akan butuh waktu banyak selain tak ada ide. Batasan antara terlalu percaya diri dengan tidak percaya diri ini tipis adanya. Terkadang juga merasa seandainya ada tombol percepatan waktu, tiba-tiba pekerjaan akan selesai (entah bagaimanapun cara mengerjakannya).
Apakah saya selalu selamat dari kejaran tenggat waktu? Tentu saja jawabannya tidak. Ada banyak masa di mana saya akhirnya mengerjakan asal atau seadanya karena tidak ada waktu lagi memeriksa atau memperbaiki kalau ada yang kurang bagus.
Memang sih, ketika dikejar-kejar tenggat waktu, rasanya ada adrenalin yang membuat ide-ide datang seketika, dan pengalaman beberapa kali selamat dari tenggat waktu akhirnya membuat tambah kebiasaan untuk mengandalkan menunggu tenggat waktu dan percaya akan selesai pada saatnya (padahal saya tahu ini tidak baik). Kebiasaan menunda ini menjadi penyakit yang kronis yang tentu saja tidak baik kalau terus menerus dipelihara.
Menunda karena perfeksionis?
Salah satu buku yang kesimpulannya saya baca di Blinkist tentang penunda berjudul The Procrastination Cure mengatakan kalau salah satu alasan orang menunda itu karena alasan si perfeksionis. Menunda dilakukan karena orang yang perfeksionis ingin melakukan semuanya sekali jadi langsung sempurna. Akan tetapi ketika idenya belum dirasakan yang terbaik, akhirnya memilih menunda. Ketika tenggat waktu tiba dan hasil tidak sebaik yang diharapkan maka bisa punya alasan tidak cukup waktu, jadi ya sudah dikerjakan sesempatnya.
Tapi sepertinya sih, saya merasa bukan orang yang perfeksionis. Padahal kalau dipikir-pikir, seorang perfeksionis seharusnya mengerjakan lebih awal, supaya punya waktu untuk memperbaiki kemudian. Kecuali perfeksionis yang disebutkan ini punya kepercayaan diri sangat tinggi kalau setiap hasil kerjanya akan langsung sempurna sekali jadi.
Menunda karena malas?
Buku lain lagi yang berjudul The Now Habit yang ditulis oleh Neil Fiore punya teori yang mirip soal penunda. Katanya sih si perfeksionis menunda sebenarnya bukan karena malas, tapi kita sudah terbiasa untuk tidak menyukai bekerja dan juga kita semua punya ketakutan untuk gagal. Dengan alasan ini, ketika kita menunda karena tidak suka pekerjaannya, ada yang bilang tidak merasa gagal kalau tidak melakukan (alasan macam apa ini? hehehe). Padahal kalau kita tidak melakukan, memang kita tidak gagal, tapi juga kita tidak belajar apa-apa.
Untuk menghilangkan rasa malas mengerjakan sesuatu, disarankan untuk mengubah pola pikir tentang hal yang dikerjakan itu sendiri. Memandang pekerjaan bukan sebagai pekerjaan, tapi sebagai sesuatu yang memang menyenangkan untuk dilakukan. Atau bisa juga diubah dengan memilih hanya mengerjakan hal yang memang disukai dan menolak untuk mengerjakan hal yang tidak disukai (ini terutama untuk hal-hal di mana kita punya kesempatan memilih).
Just Do It and Do It Now
Setelah sekian lama menjadi pemalas yang suka menunda, sebenarnya saya sudah mulai bisa sedikit demi sedikit mengurangi kebiasaan menunda dan menjadi deadliner. Saya berusaha untuk mengubah kebiasaan menunda menjadi lakukan saja dan lakukan sekarang. Ada beberapa hal yang biasanya saya coba terapkan ketika tergoda untuk menunda melakukan sesuatu:
- Kalau memang sangat mudah, justru harus dilakukan segera supaya bisa kasih tanda done di daftar pekerjaan. Apalagi untuk hal-hal yang dikerjakan sekarang atau nanti, hasilnya tetap harus dikerjakan.
- Kalau pekerjaannya sulit, ya dimulai saja sedikit demi sedikit. Ketika ada kesulitan bisa bertanya ke orang lain atau cari tahu caranya di internet. Terkadang apa yang awalnya dirasa sulit, ternyata tidak sesulit itu kok. Kesulitan itu terasa lebih sulit ketika masih dalam pikiran saja.
- Kalau malas mengerjakan karena pekerjaannya membosankan, misal ada yang bisa menggantikan ya serahkan saja pekerjaannya, kalau tidak ada ya sudah kerjakan saja setidaknya berkomitmen sekian menit berusaha fokus untuk mengerjakannya sehari. Pekerjaannya bisa dicicil sedikit demi sedikit biar tidak terlalu membosankan. Direncanakan saja pengerjaannya dalam waktu beberapa hari.
- Apapun alasannya, ketika memang ada hal yang harus dikerjakan ya dikerjakan saja, daripada menyesal kemudian. Prinsipnya tidak harus langsung sempurna, tapi kalau waktunya ada, kita selalu bisa memperbaikinya kemudian.
Tapi seperti saya sebutkan sebelumnya, godaan untuk menjadi penunda selalu ada, walaupun sudah tau kalau menunda itu artinya hasil yang tidak memuaskan dan juga terkadang mengecewakan orang lain ketika misalnya tidak mengerjakan sesuai dengan janji.
Ada banyak buku tentang penunda dan mengubah kebiasaan, tapi itu semua hanya teori belaka. Kuncinya sih kembali mengenali diri sendiri. Walaupun sudah bisa sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasan menunda, ada kalanya kebiasan menunda itu kembali lagi seketika, memang sungguh kebiasaan baik itu butuh dilatih terus menerus, sedangkan kebiasaan buruk itu tanpa latihan bisa dengan mudah memporakporandakan kebiasan baik yang sudah dilatih sebelumnya.
Penutup
Setiap orang memiliki respon yang berbeda terhadap tenggat waktu. Kebanyakan memilih menunda walau ada juga yang ingin cepat selesai. Sejak berlatih konsisten menulis, saya berusaha sedikit demi sedikit mengurangi kebiasaan menunda dan menjadi orang yang menyelesaikan pekerjaan sebelum terlalu terdesak tenggat waktu, terutama setelah saya merasakan sendiri kalau menjadi deadliner itu ternyata tidak baik untuk kesehatan saya.
Bagaimana saya menghadapi tenggat waktu sudah pernah saya tuliskan mulai dari mengenali diri diri sendiri, menuliskan jadwal harian sampai menolak pekerjaan yang memang saya tidak sukai. Coba bertanya ke diri sendiri apakah lebih bahagia jadi deadliner atau jadi early bird. Saya sih sering merasa bersalah ketika jadi deadliner dan hasilnya malah jadi tidak memuaskan. Kalau kalian kira-kira apa alasannya jadi deadliner? Kalau kebanyakan pekerjaan mungkin sudah waktunya untuk memilah lagi mana tanggung jawab yang bisa diambil dan mana yang sebaiknya ditinggalkan saja.
Ada pendapat lain? Silakan tinggalkan di komentar ya.
Leave a Reply