Isi tulisan ini
Minggu lalu saya melihat film Ranah 3 Warna tersedia di Prime Video. Niat semula menyalakan TV mau menonton drakor berganti haluan menonton film Indonesia yang sempat ramai dibicarakan beberapa bulan lalu dan mendapatkan berbagai penghargaan di dalam dan luar negeri. Kalau sebelumnya saya menonton Ngeri-Ngeri Sedap yang bercerita tentang keluarga di Sumatera Utara, kali ini di awal film ini bertempat di Sumatera Barat, lalu lanjut ke Bandung, Yordania dan Kanada.
Menurut Wikipedia, film ini sudah selesai syuting sejak 2019, tetapi tertunda penayangannya karena kondisi pandemi. Sepertinya film ini berusaha menerapkan apa yang menjadi pesan dalam ceritanya yaitu tentang bersabar menunggu waktu yang tepat. Awalnya direncanakan untuk tayang Juni 2020, tetapi akhirnya baru masuk bioskop di bulan Juni 2022, setelah sebelumnya di bulan November 2021 dijadikan film pembuka pada Jakarta Film Week 2021.
Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik meneruskan menonton film ini sampai habis selama 128 menit ke depannya. Walaupun awalnya saya sempat ragu-ragu karena beberapa menit pertama film ini menggunakan bahasa daerah Sumatera Barat (kalau gak salah Bukit Tinggi). Untungnya ada subtitle bahasa Inggris yang membantu saya mengerti percakapan bahasa daerah tersebut. Bukan hanya bahasa daerah, ternyata film ini juga ada bahasa asingnya juga.
Saya tidak akan menuliskan sinopsis film secara khusus karena pasti sudah banyak yang menuliskannya. Para pemainnya Arbani Yasiz, Amanda Rawles dan Teuku Rassya belum pernah saya lihat aktingnya sebelumnya. Tetapi ya mereka cukup bisa menggambarkan karakter Alif, Raisa dan Randai. Cerita utama dari film ini tentang bagaimana seorang anak muda berusaha mewujudkan cita-citanya: ke Amerika! Suguhan kisah romantis dengan bumbu cinta segitiga membuat film ini jadi semakin menarik.
Hal yang menarik
Film yang diadaptasi dari buku karya Ahmad Fuadi yang merupakan bagian ke-2 dari trilogi setelah Negeri 5 Menara. Oh ya, saya belum membaca bukunya sama sekali dan saya juga belum menonton film adaptasi bagian pertama dari buku ini. Tetapi menurut saya film ini menarik. Beberapa teman yang menonton juga bagian pertamanya, juga bilang kalau bagian ke-2 ini lebih menarik.
Penggambaran Bandung di tahun 1992 – 1997
Melihat penggambaran Bandung walau sekilas di kurun waktu 1992 – 1997 membuat saya teringat dengan cerita sendiri ketika merantau ke Bandung untuk kuliah juga. Apalagi saya juga berasal dari pulau Sumatera, tepatnya Sumatera Utara.
Kalau saya dulu sudah naik pesawat dan diantar oleh Ibu saya ke Bandung, Alif berangkat seorang diri karena orang tuanya berasal dari keluarga sederhana dan ayahnya terlihat mulai tidak sehat. Alif dibekali dengan sepatu kulit asli buatan lokal Bukit Tinggi sebagai bekal dia melangkah lebih jauh untuk menggapai cita-citanya.
Cerita mahasiswa baru dan dinamika kehidupan di perantauan
Bagian kehidupan anak mahasiswa yang tinggal di rumah kos dan bagaimana penggambaran masa penerimaan mahasiswa baru juga membuat saya berasa bernostalgia dengan masa-masa itu. Masa di mana tidak terima disuruh-suruh senior karena merasa datang ke kampus bukan untuk disuruh-suruh begitu tapi untuk belajar. Tapi sekarang sih semua itu saya anggap kenangan manis saja, bahkan tahun-tahun berikutnya malah saya yang ikutan jadi senior galak, hehehe.
Seperti halnya Alif dan Randai, saya juga pernah merasakan hidup di perantauan membuat teman yang berasal dari kota yang sama terasa lebih dekat. Walaupun pada akhirnya masing-masing akan memilih jalannya masing-masing. Tetapi di masa awal, rasanya yang sudah lebih dulu sampai di Bandung, sangat membantu dalam masa-masa adaptasi awal.
Selain teman yang berasal dari kampung yang sama, di kampus juga mendapatkan pengalaman dan teman-teman baru. Di kampus bukan hanya belajar akademik, tetapi juga jadi belajar tentang bagaimana bersosialiasi selain berusaha untuk mencari apakah ada minat bakat lainnya selain pelajaran di jurusan dengan bergabung di unit kemahasiswaan.
Ada kampus ITB walau tokoh utama dari UNPAD
Tokoh Randai, teman sekampung Alif yang juga sudah lebih dulu sampai di Bandung ditunjukkan sebagai mahasiswa ITB. Dari jaket yang dia kenakan, saya bisa langsung tahu kalau dia memakai jaket himpunan Teknik Mesin, akan tetapi dari lomba yang diikuti, dia itu jurusan Penerbangan. Padahal yang ngefans sama pak Habibi itu Alif, yang akhirnya keterima di Unpad, tetapi saya agak kurang jelas jurusan apa. Yang jelas Alif ini suka menulis. Salah satu yang dia harapkan bisa membawanya ke Amerika adalah melalui karya tulisnya.
Ceritanya anak ITB dan Unpad ini masih sama-sama di sekitar Dago. Kampus UNPAD yang Jatinangor tentu saja belum ada di masa itu. Saat saya di Bandung, saya taunya kampus UNPAD itu di Dipatiukur, sedangkan yang di Dago Pojok itu jurusan psikologi. Tapi sepertinya Alif bukan jurusan Psikologi.
Cowok ITB itu suka ngecengin cewek dari UNPAD. Demikian juga Randai mengadakan pendekatan dengan Raisa, seorang mahasiswi UNPAD yang belajar tari piring darinya. Selain berlatih tari piring, tentu saja Randai mengajak Raisa untuk nonton ke LFM ITB. Film yang dipilih juga tentu saja film yang membuat Raisa tambah nempel ke Randai.
Eh tapi, Raisa juga belajar mengaji dari Alif. Jadi bisa dibilang Raisa ini dekat dengan Randai dan juga Alif. Bisa ditebak nggak Raisa akhirnya jadi dengan siapa? Kalau sudah baca bukunya pasti tahu jawabannya, tetapi karena saya belum membaca bukunya, jadilah saya berharap-harap cemas sepanjang menonton. Jangan lupa, ini bukan film romansa, ini film tentang pemuda meraih cita-cita, jadi jangan berharap banyak dengan kisah cintanya!
Menegaskan tentang pentingnya literasi
“Literasi dan ide adalah ukuran peradaban maju yang harusnya kita tunjukkan kepada dunia.”
Ranah 3 Warna
Satu hal yang juga menjadi daya tarik film ini buat saya adalah karena Alif suka menulis. Dia mau belajar untuk menulis artikel supaya layak tampil di tabloid kampus. Masa itu belum ada blog sih ya. Tulisan yang dipublikasikan itu biasanya sudah dicek dulu oleh editornya dan mungkin harus diperbaiki berkali-kali sebelum dinyatakan layak tayang. Begitulah Alif sangat bangga ketika tulisan pertamanya masuk tabloid kampus. Tulisan itu dikirimkan ke ayahnya dan dibingkai kaca dong tulisan itu. Segitunya ya!
Setelah berhasil masuk ke tabloid kampus, berikutnya tentu saja berusaha mengirimkan tulisannya ke berbagai media massa. Tulisan yang dipublikasikan tersebut menjadi modalnya ketika ada seleksi pertukaran pelajar ke Kanada, dan dia hampir tidak terpilih karena dia tidak punya keahlian untuk dipertunjukkan seperti keahlian tari piring sekalipun. Dengan berapi-api Alif berargumen kalau literasi dan ide harusnya juga dianggap sebagai sesuatu yang layak ditunjukkan. Tentunya dia sudah mempersiapkan berbagai salinan artikelnya yang dipublikasikan sebagai bukti kalau dia punya prestasi yang bisa ditunjukkan.
Sepatu dan pelajaran tentang kesabaran
Berkali-kali digambarkan kalau Alif yang anak pesantren dan pintar mengaji jatuh bangun untuk mengerti apa itu sabar. Walau sudah berkali-kali kesabaran akhirnya membawa buah manis, tetap saja dia terlihat tidak sabar ketika ada hal yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya.
Sepatu hitam dari kulit asli
Sepatu hitam dari kulit yang dibelikan ayahnya dari toko di Bukti Tinggi menjadi simbol untuk dia memulai langkahnya untuk menyambut perjalanan panjang. Walaupun sepatu itu langsung diguyur hujan ketika tiba di Bandung, lalu sempat hampir hilang ketika dia dirampok di angkot, sepatu hitam dari kulit asli tersebut berhasil dia pakai sampai saat wisuda.
“Bukankah kata pepatah, setiap perjalanan panjang harus dimulai dengan langkah pertama?”
Ranah 3 Warna
Tetapi sebenarnya saya agak skeptis sih apakah sepatu kulit tahan ya bertahun-tahun dengan kondisi terkadang kena basah dan dipakai setiap hari? Padahal kan di Bandung ada juga tuh toko sepatu Cibaduyut. Eh, kok jadi kemana-mana ngomongin sepatu.
Pelajaran Kesabaran
Satu hal yang menjadi pegangan Alif selama ini adalah tentang kesabaran yang memawa keberuntungan. Tetapi ketika masalah hidup datang bertubi-tubi, memang wajar kalau kita merasa nasihat tentang sabar itu tidak benar.
Ceritanya ayahnya Alif meninggal dunia, otomatis dia merasa terbeban harus membiayai ibu dan adik-adiknya di kampung selain membiayai hidupnya sendiri. Awalnya dia terpikir untuk tidak melanjutkan kuliahnya saja, tetapi ibunya tentu saja menentang keras dan menyuruhnya kembali ke Bandung.
Di Bandung, Alif kerja serabutan dan berjualan kain asli dari Bukit Tinggi. Tetapi di saat dia membawa dagangannya naik angkot, eh dia dirampok. Kain dagangan dan uangnya diambil. Dia juga hampir saja kehilangan sepatu kulit yang dibelikan ayahnya. Di situ dia merasa marah dan tak ada gunanya sabar.
Lalu di saat dia membawa sepatunya ke tukang sepatu untuk diperbaiki, dia mendapatkan nasihat tentang bagaimana kita perlu belajar dari sepatu yang walaupun diinjak-injak tetapi tetap melakukan tugasnya melindungi dan membawa kaki penggunanya ke berbagai tempat. Ada juga disebutkan kalau sabar itu bukan berarti pasif, tetapi aktif mencari solusi dan pantang menyerah. Di situ Alif jadi kepikiran lagi, kalau dia masih bisa tetap menulis untuk bisa mendapatkan penghasilan.
“Sabar itu bukan pasif, tapi aktif. Aktif mencari solusi, aktif pantang menyerah.”
Ranah 3 Warna
Saya tidak tahu dia menulis berapa banyak dan berapa honor dari menulis di media massa. Tetapi sepertinya dari menulis artikel, dia bisa mencukupkan kebutuhannya dan juga melanjutkan kuliahnya. Bahkan dia mendapat kesempatan untuk ikut program pertukaran pelajar ke Kanada.
“Bersabar tanpa melakukan apapun bukan suatu hal yang harus kamu banggakan.”
Ranah 3 Warna
Menjelajah 3 Wilayah
Judul ranah 3 warna ini menandakan kalau dengan sepatu kulit asli pemberian ayahnya, Alif berhasil melakukan perjalanan ke 3 wilayan. Bukan hanya ke Bandung, dia juga berkesempatan mampir ke Yordania dalam perjalanannya ke Kanada dan tentunya dia juga sampai ke Kanada.
Walaupun dalam film ini Alif belum sampai ke Amerika, tetapi ya setidaknya dari Kanada sudah dekatlah ke Amerika. Temannya Randai malah lebih duluan tuh sampai ke Amerika.
Tulisannya jadi panjang nih. Padahal tadi niatnya menuliskan kesan singkat. Ya sudah langsung saja tonton di Prime Video. Cuma 2 jam lebih sedikit, mengenang masa jadi mahasiswa baru dan perjalanan mengejar cita-cita dan cinta.
Leave a Reply