Isi tulisan ini
Membaca berbagai berita tentang kurikulum, pendidikan, rendahnya kemampuan guru mengajar matematika, kasus guru dituntut orang tua dengan berbagai alasan, membuat saya bertanya-tanya dan pikiran kemana-mana tentang pendidikan. Pengalaman menjadi relawan di sekolah juga membuat saya semakin sadar kalau menjadi guru itu tidak selalu mudah.
Saya sering mendengar keluhan generasi jaman sekarang yang terkesan kurang tangguh. Lalu saya juga melihat sendiri bagaimana orang tua yang terlalu mempercayakan pendidikan anak ke sekolah (dan tidak pernah sama sekali memeriksa pekerjaan anaknya). Belum lagi berita tentang guru yang jadi tidak berani menegur siswa karena takut diperkarakan oleh orang tua siswa didik.
Masalahnya, ketika seorang anak melakukan kesalahan tidak ditegur, tidak dikoreksi, anak itu tidak akan pernah tahu dan tidak belajar bahwa yang dia lakukan salah. Jelas saja di kemudian hari mereka menjadi generasi yang selalu merasa benar dan mungkin saja jadi tidak tangguh. Kalau sudah begini, ternyata kesalahan itu berasal dari generasi sebelumnya juga dong.
Tentang Belajar dan Mengajar
Sebenarnya, setiap orang memilki kemampuan untuk belajar mandiri. Dulu saya juga pikir, semua orang itu pintar. Tetapi ternyata statistik tidak menyatakan begitu.
Tingkatan-tingkatan IQ seseorang dapat digolongkan pada tingkatan:
- 70 – 79 : Tingkat IQ rendah atau keterbelakangan mental
- 80 – 90 : Tingkat IQ rendah yang masih dalam kategori normal (Dull Normal)
- 91 – 110 : Tingkat IQ normal atau rata-rata
- 111 – 120 : Tingkat IQ tinggi dalam kategori normal (Bright Normal)
- 120 – 130 : Tingkat IQ superior
- 131 : atau lebihTingkat IQ sangat superior atau jenius.
Menurut data World Population Review 2022, nilai rata-rata IQ penduduk di Indonesia adalah 78,49 (posisi ke-130 dari total 199 negara yang diuji). Artinya rata-rata orang Indonesia masuk IQ rendah dan atau keterbelakangan mental.
Atau kalau mau baik hati, kita bulatkan saja ke batas atas ke level berikutnya yaitu Tingkat IQ rendah yang masih dalam kategori normal. Tapi datanya menyimpulkan memang banyak yang IQ rendah. Pada level ini artinya banyak yang bisa baca tulis, tapi masih dibawah level yang seharusnya. Pengertiannya terbatas untuk banyak hal.
Dan kalau kita pakai distribusi normal, dan tengahnya ada di 78, artinya lebih dari setengah orang Indonesia IQ nya rendah. Eits, jangan protes sama saya, itu kata data, bukan kata saya.
Tentu saja banyak hal mempengaruhi tingkat kecerdasan, dan dari semua angka tersebut, tetap saja ada yang bisa jadi guru walau dengan IQ pas-pasan. Tapi tentu saja hal ini mungkin salah satu penyebab ada isu guru tidak bisa mengajar literasi numerasi dengan baik karena mereka mungkin bisa membacanya, tapi tidak benar-benar mengerti dan mengikuti saja apa yang ada di buku petunjuk ajar.
Masalah berikutnya adalah, mereka yang punya IQ tinggi, sangat sedikit kemungkinan yang mau menjadi pengajar. Demikianlah guru yang IQ pas-pas an mengajar anak yang mungkin IQ nya rendah dan ga pas juga.
Kemampuan Guru Mengajar
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya pernah membaca berita kalau kemampuan guru mengajar di level pendidikan dasar juga banyak yang mengkhawatirkan. Padahal sebenarnya untuk bisa menjadi guru itu sudah harus melewati pendidikan guru dan berbagai persyaratan praktik mengajar.
Kalau di level SMP dan SMA, ada beberapa guru mengajar untuk bidang studi yang berbeda. Masalahnya di tingkat SD, guru kelas harus bisa mengajar berbagai bidang studi termasuk matematika, bahasa Indonesia, pendidikan alam dan pendidikan sosial.
Saya ingat, ketika SD guru bidang studi yang berbeda dari guru kelas itu hanya guru Agama dan Pendidikan Jasmani. Kurang tahu dengan sekarang, tapi yang jelas, guru kelas untuk level SD harus punya kemampuan numerasi dan literasi yang baik untuk bisa mengajarkannya ke murid-muridnya.
Kemampuan dan Kemauan Murid Belajar
Dari statistik tentang kenyataan banyak orang kurang cerdas, pastinya sebagian dari statistik itu ada di usia sekolah. Murid yang kurang cerdas ini biasanya juga jadi malas belajar. Mereka malas karena tidak mengerti dan atau nggak mampu untuk mengerti.
Dari sekian banyak siswa, kemungkinan ada yang mungkin tingkat kecerdasannya gak rendah-rendah amat. Tapi kalau dia ada di lingkungan yang salah (ketemu teman yang salah), bisa jadi mereka jadi malas belajar juga. Lebih parah juga kalau mereka ketemu guru yang ga bisa mengajar.
Guru yang tidak bisa mengajar atau Murid yang tidak mau belajar
Pertanyaan demi pertanyaan di kepala saya membawa saya pada pertanyaan yang menjadi inspirasi tulisan ini.
Ada beberapa skenario yang mungkin terjadi antara guru dan murid:
Guru yang bisa mengajar bertemu anak yang mau belajar, hasilnya anak-anak yang semakin cerdas dan bersemangat tinggi untuk tetap belajar.
Kalau misal ada guru yang tidak bisa mengajar dan ada murid yang mau belajar, kira-kira apakah anak ini masih ada harapan untuk belajar? Tentunya anak ini akan mencari sumber lain untuk belajar. Kemauan belajar itu menjadi modal untuk mencari informasi.
Lalu bagaimana kalau guru yang bisa mengajar tetapi muridnya yang tidak mau belajar? Gurunya salah ga tuh kalau muridnya tetap kurang cerdas? Atau bagaimana kalau guru yang tidak bisa mengajar bertemu dengan anak yang tidak mau belajar?
Kalau saya menyimpulkan anak yang tidak mau belajar itu lebih mengkhawatirkan daripada guru yang tidak bisa mengajar. Karena, pada akhirnya mau seberapa pintarpun gurunya, kalau anaknya nggak mau belajar, ya hasilnya tidak akan baik.
Mungkin akan ada yang bilang seharusnya kalau guru bisa mengajar, dia bisa membuat anak yang tidak mau belajar jadi mau belajar. Yaaa bisa saja begitu, tapi bagaimana kalau anak itu tidak merasa perlu belajar karena orangtuanya tidak pernah memeriksa, tidak pernah mengoreksi dan selalu dibenarkan? Jadilah generasi yang bukan saja lembek tapi juga bodoh.
Siapa yang salah? Pemerintah? Sistem pendidikan? Kurikulum? Guru? atau malah orangtua?
Masalahnya bukan mencari siapa yang salah, tetapi menyadari kalau itu masalah dan mulai memperbaiki dengan apa yang kita bisa.
Sebagai orangtua, mulai memperhatikan asupan gizi anak dan membuatnya sebagai prioritas, karena salah satu cara memperbaiki tingkat kecerdasan ya dengan memperbaiki asupan gizi. Orangtua juga perlu untuk ikut memeriksa pekerjaan anak di sekolah (atau minimal memeriksa anaknya belajar apa di sekolah) dan memotivasi anak supaya mereka mau belajar sungguh-sungguh, dan bukan semata-mata menyerahkan pendidikan ke sekolah saja.
Karena kemauan belajar itu menjadi kunci seseorang bisa belajar. Seperti ada orang bijak bilang: Kita bisa membawa kuda ke air, tetapi kita tidak bisa membuat kuda minum air. Demikian juga, guru bisa saja mengajarkan anak berbagai hal tetapi kalau anak tidak mau belajar, apapun pendekatan yang dilakukan guru ya tidak akan bisa berhasil.
Leave a Reply