Isi tulisan ini
Kali ini saya membaca buku di Gramedia Digital. Tadinya sih iseng saja mencari tahu seperti apa sih isi buku karya penulis yang namanya sulit diingat selain huruf z nya ini. Saya sudah pernah mendengar namanya disebut-sebut oleh teman gajah yang suka baca buku. Kalau dari reviewnya, dia malah menyesal membaca buku berjumlah 244 halaman ini sampai selesai.
Hal menarik dari buku Di Tanah Lada
Tapi, sesungguhnya, saya merasa terjebak. Cara bercerita di buku ini menarik, tapi kok rasanya agak-agak berat ya ceritanya. Sebelum saya bercerita sinopsis bukunya, kali ini saya akan menuliskan hal yang menarik dari buku ini.
Tokoh utamanya anak kecil
Dari sekian banyak buku fiksi yang saya baca, baru kali ini saya membaca buku pengarang Indonesia yang tokohnya adalah anak berumur 6 tahun. Tapi, walau tokohnya anak perempuan kecil, menurut saya buku ini bukan buku anak-anak. Saya jadi teringat dengan buku Matilda karya Roald Dahl ketika membaca beberapa bab pertama dari buku Di Tanah Lada ini.
Kalau sudah pernah membaca buku Matilda, mungkin ingat kalau anak ini juga pintar, tetapi orangtuanya seperti mengabaikannya. Walaupun saya belum tau apakah nantinya Ava akan mempunyai kemampuan seperti Matilda, tapi ya ceritanya agak-agak menyedihkan.
Cara berceritanya
Sudut pandang yang dipakai menceritakan buku ini adalah dari Ava, si anak umur 6 tahun tersebut. Dia menceritakan dengan gaya bahasa anak kecil. Dan terkadang penulisnya seperti berusaha menjelaskan cara berpikir anak kecil ketika tidak mengerti sesuatu yang akhirnya akan membuat dia mengambil kesimpulan yang salah.
Cara bercerita di awal yang terasa unik dan mengandung sedikit humor ini berhasil membuat saya tertarik untuk meneruskan ceritanya. Akan tetapi, ada beberapa hal yang membuat saya merasa ragu-ragu melanjutkannya. Bagian ini nanti saya tuliskan kenapa.
Referensi Bahasa Indonesia
Tokoh utamanya suka membawa-bawa kamus bahasa Indonesia. Dia mendapat hadiah kamus ini dari kakeknya ketika berumur 3 tahun. Kemungkinan anak ini cerdas sekali, karena di usia 6 tahun, dia bahkan mencoba membaca buku Agatha Christie. Karena dia senang membaca kamus, dalam novel ini banyak kutipan arti kata dari kbbi dan terkadang dinarasikan.
Akan tetapi, di beberapa bab pertama, terasa sekali hampir semua kata diartikan dan membuat saya berpikir ini hanya cara penulis untuk memperpanjang isi bukunya, karena saya yang sudah tau arti kata tersebut, sudah pasti tidak membaca bagian itu lagi dengan seksama. Terkadang rasanya jadinya tokoh utamanya ini agak terlalu berlebihan juga menjelaskan semuanya mengutip isi kamus.
Akan tetapi ada bagian yang saya suka, saat dia akhirnya mengambil kesimpulan kalau tidak ada yang menggunakan tata bahasa yang sempurna dan lebih penting berkata yang tepat daripada sekedar berkata yang baik.
Kesan dari 5 bab pertama Di Tanah Lada
Kesannya selain menarik, juga menyedihkan. Karena anak kecil ini selalu menceritakan tentang ayahnya yang jahat dan suka main judi. Mereka bahkan pindah ke sebuah rusun yang kecil dan tidak ada perabotannya demi supaya ayahnya bisa main judi di sebuah kasino yang lokasinya dekat rusun itu. Dari ceritanya kasinonya juga bukan kasino yang keren, karena letaknya saja di gang sempit.
Awalnya saya pikir hanya ayahnya yang aneh. Tapi ternyata, ibunya juga nggak kalah aneh. Misalnya saja, ibunya membiarkan saja ayahnya menyuruh anak umur 6 tahun, di kota Jakarta, pergi cari makan di sekitar rusun yang mana mereka baru saja sampai. Padahal dari ceritanya anak itu belum bisa makan ayam ataupun ikan sendiri.
Saat anak itu kembali dari makan, ayah dan ibunya tidak ada di kamar dan tidak ada pesan sama sekali. Sampai anak itu akhirnya harus mencari ke kasino (yang ditunjukkan oleh anak pengamen yang dia kenal ketika makan). Di kasino, ibunya melihat anaknya dan menyuruh anak itu pulang, tapi ibunya tidak memberikan kunci, ataupun menemani anak itu pulang ke rusun.
Anak itu akhirnya bisa masuk ke kamarnya menggunakan kunci duplikat yang dimiliki penjaga gedung. Lah, kenapa nggak dari awal diusulkan minta kunci duplikat ya? Terasa seperti sengaja biar anak itu harus ke kasino.
Berikutnya, ketika ayahnya dan ibunya bertengkar, anaknya mengunci diri di kamar mandi dan akhirnya malah tidur di kamar mandi sampai pagi! Lalu untuk sesaat ketika ayahnya tidak ada, dan hanya ada ibu dan anak itu, cerita terasa normal karena ibunya mengajaknya belanja dan makan di pasar.
Cerita kembali berubah ketika ayahnya datang lagi, padahal belanjaan ibunya belum disusun dan entahlah kemana lagi si ayah dan ibu itu pergi meninggalkan anaknya lagi seorang diri.
Berkali-kali saya berusaya membayangkan anak umur 6 tahun bisa apa ya kalau ditinggalkan seorang diri. Walaupun mugkin anak ini digambarkan pintar dan bisa membaca kamus, tapi jelas dia masih belum mengerti banyak hal dan jelas dia masih butuh orang tua nya mendampinginya.
Lanjut atau nggak ya?
Dari 5 bab pertama, terasa sekali kalau ini ceritanya bukan cerita anak-anak dan bukan cerita yang akan berakhir bahagia. Walaupun belum sampai ke bagian di Tanah Lada, akan tetapi kemungkinan si anak akan hidup bahagia kok ya kecil ya.
Jadi agak bingung mau meneruskan membacanya, atau langsung baca bab terakhir dulu sebelum kemudian memutuskan terus atau tidak.
Leave a Reply