Isi tulisan ini
Keisengan nontonin film Indonesia di Netflix berlanjut. Nggak sengaja melihat ada film yang dibintangi Bunga Citra Lestari dan Reza Rahadian yang berjudul Pasutri Gaje. Sempet mikir apa maksudnya nih Gaje, ternyata ya emang Gaje yang dipakai itu bahasa gaul dari kata “gak jelas” atau aneh. Tanpa ekspektasi saya memulai menontonnya.
Selain BCL dan Reza Rahadian yang sempat jadi bintang satu-satunya yang selalu nongol di hampir setiap film Indonesia, ada nama yang sudah sering wara wiri juga di layar televisi seperti Indra Warkop DKI, Tora Sudiro, Mieke Amalia, dan Ira Wibowo. Untuk yang seangkatan dengan saya, kemungkinan besar pasti tau nama-nama yang disebutkan tersebut.
Kesimpulannya sesuai judul, film ini aneh. Sebagai penonton saya merasa dari awal sampai akhir banyak anehnya dalam usaha menampilkan komedinya. Ternyata film adaptasi dari Webtun Indonesia yang dibintangi oleh nama-nama yang sudah dikenalpun ternyata nggak menjamin sebuah film itu bagus. Walau berasa gaje, perlu diapresiasi karena saya baru tahu ada webtun Indonesia yang diadaptasi jadi film.
Adaptasi dari Webtun Indonesia yang agak maksa
Fakta bahwa film ini diangkat dari webtun baru saya ketahui belakangan. Cukup kaget karena bahkan sudah ada yang menerjemahkan ke versi Thailandnya. Gambar di webtunnya lebih cakep dari yang ada di film ini. Mungkin karena usia pemainnya sudah agak terlalu tua daripada usia tokoh yang digambarkan di webtun.
Dalam filmnya, ada seperti tempelan stiker komik untuk membuat kesan komiknya tetap ada. Bagian itu masih oke sih, tapi make up dari pemerannya yang agak ganggu buat saya. Mungkin make-up tebal dan rambut yang seperti setiap hari harus ke salon itu sengaja supaya terasa komiknya. Tapi ya jadi ga natural aja rasa adaptasinya. Apalagi ceritanya tokoh utamanya ini bekerja sebagai ASN dan bukan mau menggambarkan mereka orang kaya yang tiap hari perawatan ke salon.
Padahal ya, BCL itu masih cantik untuk usianya sekarang. Penggunaan make-up berlebihan membuatnya jadi terlihat gaje. Eh tapi mungkin memang begitu tujuannya kali ya.
Cerita Klasik Tentang Pengantin Baru
Film yang berdurasi sekitar 2 jam ini ceritanya bisa dibilang cerita komedi klasik. Kisah tentang Adimas dan Adelia mulai dari usaha meminta restu dari orang tua Adelia, kemudian menikah dan pindah ke rumah sendiri. Saya bilang cerita klasik, karena semuanya seperti dipersulit dulu untuk kemudian pada akhirnya mereka mendapatkan apa yang mereka mau.
Unsur komedi yang berusaha ditampilkan selalu membuat Adimas jadi korban. Mulai dari meminta restu, Adimas harus pintar-pintar untuk menyenangkan hati calon mertuanya dengan memenangkannya dari perlombaan memancing.
Setelah mereka mendapat restu, menikah, dan mencari rumah untuk mandiri. Mungkin karena saya baru menonton beberapa film Indonesia yang berkisah tentang pasutri yang mencari rumah untuk mandiri, saya jadi berasa ceritanya ya gitu-gitu aja. Bedanya eksekusinya, ada yang tinggal di rumah mertua dulu sementara, untuk kemudian langsung bisa membeli rumah mewah, ada juga yang hanya bisa mengontrak rumah di gang sempit. Kali ini Adimas dan Adelia mencari rumah untuk dicicil.
Karena mereka pegawai negeri, mereka tidak punya uang banyak dan memutuskan untuk menunda memiliki anak. Tetapi walau belum setahun menikah, lagi-lagi orang tua Adelia yang selalu saja mempertanyakan kapan mereka akan memiliki anak.
Adelia sebenarnya tidak ingin menunda dan ingin segera punya anak. Tapi dia juga paham dengan situasi keuangan mereka dan memilih mengikuti apa kata Adimas. Walaupun tidak lama kemudian, Adimas juga jadi gerah ditanya melulu kapan mereka punya anak dan memutuskan untuk tidak menunda dan ingin segera punya anak.
Ternyata, walau mereka sudah berusaha untuk memiliki anak dengan mempelajari masa subur dan juga makan makanan yang katanya bisa membuat gampang punya anak, mereka tidak langsung bisa punya anak. Dan seperti halnya di cerita film lainnya, ketika ada tekanan untuk segera memiliki anak, komunikasi antara suami istri juga jadi mulai gampang sensi.
Gak harus baca webtunnya
Katanya sih, ada beberapa perbedaan tokoh antara film dan webtunnya. Jalan cerita utamanya sih masih tetap sama. Tapi penggambaran karakter pendukungnya cukup banyak bedanya. Ya namanya adaptasi, tentu saja tidak selalu persis sama.
Kalau menurut saya, untuk menonton film ini tidak harus baca webtunnya dulu. Tapi kalau mau baca setelah menonton juga ya boleh saja. Apalagi sekilas saya lihat di webtunnya sudah ada sampai season 2. Saya tidak tahu apakah film Pasutri Gaje ini direncanakan untuk diproduksi season berikutnya. Tapi bisa jadi dilanjutkan dalam bentuk serial televisi.
Mungkin tulisan kali ini lebih banyak catatan untuk perbaikan daripada review atau rekomendasi. Tapi ya sebenarnya saya berharap semakin banyak juga karya webtun di Indonesia yang diadaptasi ke karya film atau drama. Tapi mudah-mudahan versi adaptasinya justru lebih baik dan bukan sekedar dipilih nama besar dari pada pemerannya saja.
Kalau ada yang sudah membaca webtunnya tapi belum lihat filmnya karena waktu itu malas ke bioskop, langsung saja nonton di Netflix ya!
Leave a Reply