Isi tulisan ini
Ketika saya membaca/mendengar buku Keberangkatan oleh NH. Dini, saya jadi terpikir juga dengan obrolan tentang akhir dari sebuah kisah fiksi baik buku maupun drama Korea yang kadang-kadang tidak bahagia. Umumnya sih, cerita itu disebut tidak bahagia, ketika tokoh utamanya gagal dalam kisah cintanya dan tak bersatu (padahal mungkin kehidupannya sukses di bidang lainnya).
Kisah cinta Elisa dalam novel Keberangkatan pun berakhir tanpa memiliki kekasih, malahan dia yang tadinya ingin diterima menjadi orang Indonesia, ternyata akhirnya harus menerima kenyataan kalau Indonesia bukan tempat terbaik baginya. Saya jadi memikirkan, bagaimana NH. Dini memutuskan memberi akhir yang sepertinya tidak bahagia ini kepada Elisa. Tapi benarkah ini akhir yang tidak bahagia?
Paragraf yang saya kutip dari buku NH. Dini ini, bisa dibagi menjadi 3 bagian tentang perkawinan yang saya lihat sering menjadi salah kaprah untuk orang muda yang terlalu mengagungkan cerita cinta dan ingin buru-buru menikah.
Perkawinan bukanlah tujuan
Saya setuju kalau manusia itu tidak dapat hidup seorang diri dan lebih baik punya pasangan daripada seorang diri sampai tua. Akan tetapi, dalam memilih pasangan, banyak yang melupakan untuk teliti dalam memilih. Banyak yang berasumsi, nanti setelah menikah semua akan baik-baik saja dan saling menyesuaikan diri. Ada yang sudah menyadari kalau orang itu bukan pilihan yang tepat, tapi karena sudah malas memulai hubungan lagi, tetap memaksakan diri untuk menikah.
Terkadang, orang tua juga tidak membantu dengan mendesak-desak anaknya segera menikah. Saya mengerti kenapa dulu orang tua ingin anaknya menikah, bukan karena mereka ingin cucu, tapi mereka ingin mendapatkan rasa tenang kalau misalnya mereka sudah tidak ada, anaknya tidak sendiri menghadapi kejamnya kehidupan.
Ada juga pertimbangan, manusia itu ada batas umurnya. Untuk segala sesuatu ada umurnya, termasuk untuk memiliki keturunan. Walaupun memang semua diatur Tuhan, tapi kalau misalkan menikah sudah lewat usia dan memiliki anak sudah terlalu tua, apakah nanti masih bisa berdiri tegak melihat anak di wisuda?
Bayangkan saja, misalkan para artis Korea yang baru akan menikah di usia 40 tahun, seandainya pun dia sudah hamil pada saat menikah, ketika anaknya masuk kuliah umur 20 tahun, dia sudah akan berumur 60 tahun. Memang tingkat harapan hidup manusia sekarang ini sudah semakin panjang, tapi tetap saja, resiko melahirkan pada umur di atas 40 tahun juga ada. Resiko ini ya untuk ibunya dan untuk bayinya.
Perkawinan juga bukan tujuan, kalau kita berpikir dengan perkawinan kita akan auto bahagia. Nanti akan saya bahas kenapa tidak begini di bagian persoalan hidup tidak hilang dengan menikah.
Cerita manusia tidak berakhir hanya pada perkawinan
Dalam cerita fiksi, akhir yang bahagia itu adalah ketika tokoh utama menyatakan cinta, atau mereka akhirnya berjanji untuk pacaran, atau ketika penonton disuguhi adegan pernikahan setelah adegan kejarlah daku kau kutangkap dalam belasan episode (atau bab kalau berupa buku).
Tapi, apakah ada yang menyadari kalau setelah menikah bumi tetap berputar. Mereka yang memiliki status baru sebagai istri atau suami atau pacar tetap saja harus melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai dirinya. Mereka tetap harus bekerja kantor, atau simply mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya.
Bayangkan kalau si istri biasa punya pembantu, lalu dapat suami yang gaji ngepas karena masih harus melunasi berbagai kredit, mulai kredit rumah sampai kredit ponsel, tidak tersisa untuk bayar pembantu.
Siapa yang tau, jangan-jangan si suami menikah karena berpikir setelah menikah dia gak perlu bayar tukang cuci setrika, tukang masak, tukang bersih-bersih rumah atapun yang mengurusi orang tuanya dan adik-adiknya? Padahal si istri berpikir ketika menikah, dia akan menjadi ratu di istana mungil bersama suami tercinta yang selama pacaran selalu mengajaknya makan di restoran yang belum pernah dia coba sebelumnya?
Atau sebaliknya, jangan-jangan si istri bersedia menikah karena dia pikir setelah menikah dia bisa meminta suaminya membayar pembantu untuknya, dan dia tidak perlu lagi tinggal di rumah orang tuanya, sharing kamar dengan kakak adiknya, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, masak dan mencuci setrika baju seluruh keluarganya (katakanlah si wanita ini punya orang tua dan 6 adik, kebayang cucian dan setrikaan segunung).
Tau-tau dia malah dapat suami yang ternyata nggak bisa mengerjakan pekerjaan rumah sama sekali gaji pas-pasan sehingga tidak bisa bayar pembantu dan juga tidak membantu pekerjaan rumah sama sekali? Akan lebih dramatisir lagi, kalau ternyata mereka tinggal di rumah orang tua si suami, dan akhirnya si istri harus mengerjakan pekerjaan rumah untuk keluarga suaminya (yang punya adik masih kecil-kecil dan jumlah 8 orang?)
Persoalan hidup tidak hilang dengan menikah
Dari contoh-contoh di atas, semoga saja bisa melihat kalau persoalan hidup tidak hilang dengan menikah, kalau salah pilih malah bisa bertambah! Perkawinan bukan jaminan akhir yang bahagia dan kebahagiaan bukan hanya dari perkawinan saja.
Persoalan hidup tentang mencari pekerjaan, ataupun masalah-masalah lainnya akan tetap ada, menikah atau tidak. Persoalan Elisa dalam novel Keberangkatan yang ditolak oleh orang pribumi juga akan tetap ada karena dia tetap terlihat berbeda dari orang pribumi.
Maka dari itu, kalau misalkan patah hati karena ditinggal pacar yang tidak setia, atau pertimbangan lainnya bersyukurlah kalau kamu patah hati sebelum menikah. Daripada setelah menikah baru tau kalau dia lelaki jahat, itu bakal lebih sakit lagi. Boro-boro bahagia, yang ada penderitaan tiada akhir.
Daripada fokus memikirkan pria yang bukan jodoh, lebih baik fokus mengembangkan diri sendiri sambil tidak menutup pintu jodoh yang mungkin sedang menunggu antrian, hehehe.
Penutup
Apakah tokoh Elisa beroleh kebahagiaan pada akhir cerita di novel Keberangkatan? Kata saya sih dia cukup bahagia, karena dia melakukan apa yang menjadi pilihannya dan hidupnya malahan bisa mendapat kesempatan lebih banyak lagi di lingkungan yang tidak menolak dia.
Ingat kata Nh. Dini dalam novel Keberangkatan ini: “Perkawinan bukan satu-satunya tujuan dalam hidup. Masing-masing kita wajib mencari pengisian yang sesuai dan sepadan guna mengimbangi kebutuhan jiwa. Oleh karenanya cerita manusia tidak berakhir hanya pada perkawinan. Jangan kau kira orang-orang yang telah kawin tidak mempunyai persoalan lagi dalam hidupnya.”
Sedikit tambahan buat penonton drakor Twenty Five Twenty One, jangan terlalu bersedih kalaupun Na Hee Do nggak menikah dengan Baek Yi Jin, karena cerita dramanya udah cukup indah kok. Na Hee Doo sukses dapat medali emas sebagai atlet Anggar, dan Baek Yi Jin sudah menjadi reporter sukses juga. Mereka aja bahagia, masa kamu sebagai penonton lebih bersusah hati?
Leave a Reply