Isi tulisan ini
Senang sekali, karena ikutan #maksakeunmaca alias memaksa diri membaca setiap hari, saya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu kurang dari seminggu. Sebenarnya ini termasuk lambat, dibandingkan anak saya yang hanya butuh beberapa jam untuk menyelesaikan membaca sebuah buku. Tapi ini prestasi buat diri sendiri yang biasanya memilih menonton daripada membaca buku.
Karena bukunya sudah selesai dibaca, saya tidak akan menuliskan insight harian dan menuliskan review lengkapnya saja. Hari ke-5 dan ke-6 saya gabung karena saya membacanya sampai berganti hari dan menyelesaikan 14 bab terakhir sekaligus (dari total 34 bab).
Oh ya untuk yang ingin membaca kesan awal dari buku Damar Hill ini bisa lihat di tulisan sebelumnya ya.
Tentang Novel Damar Hill
Novel Damar Hill ini ditulis oleh Bulan Nosarios yang lahir dan tinggal di dataran tinggi Gayo sampai dengan usia 17 tahun. Tidak heran kalau cerita yang diawali di Jakarta sebagai tempat pertemuan pertama dari tokohya kemudian sebagian besar dilanjutkan di kota Takengon.
Saya tidak kenal dengan penulisnya, tapi saya jadi menebak-nebak kalau tokoh utama dari novel ini sebagian adalah berdasarkan pengalaman penulis novel in lalu diberi nama Nadya Sera. Dalam cerita ini, digambarkan Nadya Sera juga tinggal di Takengon hanya sampai berusia 16 tahun, lalu dia pindah ke Jakarta. Bisa jadi novel ini adalah imajinasi penulis, seandainya dia pulang ke Takengon.
Novel setebal 312 halaman ini dari awal sudah memberi nuansa kalau tokohnya adalah seorang pecinta buku yang cerdas dan juga penikmat kopi yang enak. Buat saya yang suka minum kopi walaupun tidak terlalu mengenal perbedaan rasa kopi yang satu yang lain, penjelasan tentang kopi membuat saya jadi penasaran dengan kopi gayo.
Hal-hal yang menarik dari novel Damar Hill
Novel ini secara keseluruhan menarik buat saya. Biasanya membaca cerita fiksi itu membuat saya tidak tahan karena terasa lambat dan lebih cepat kalau menonton saja. Tapi, karena saya sedang ingin belajar konsisten membaca, saya pikir waktunya sekalian latihan bersabar dengan cerita yang ada.
Membagikan banyak tentang kota Takengon sebagai bagian dari cerita
Cerita fiksi ini menjadi menarik buat saya karena ada banyak informasi di dalamnya dengan kota Takengon termasuk tentang perbedaan dialek di dataran tinggi Gayo dan daerah pesisir. Ada juga informasi seputar makanan khas di Aceh dan juga bagaimana bercandaan tentang makanan aceh yang menggunakan ganja juga disebut-sebut.
Setidaknya ada beberapa makanan yang disebut misalnya telur dedah, pengat bawal dan jamur memir. Membaca deskripsi makanan yang disebutkan terkadang bikin penasaran dan mencari tau. Jadi tau kalau telur dedah itu sejenis telur orak arik tapi dimasak di atas daun, dan pengat itu sebutan untuk memasak seperti pepes tapi tanpa daun. Malahan kalau dibaca lagi, pengat itu jadi mirip arsik kalau di Sumatera Utara.
Informasi tentang dinginnya kota Takengon juga jadi bikin penasaran apakah dinginnya seperti Chiang Mai di bulan Desember, atau sedingin Bandung di awal kuliah dulu atau lebih dingin lagi?
Saya suka dengan cara penulis menggambarkan lokasi penginapan Damar Hill. Sebuah penginapan di bukit, menghadap ke sebuah danau, di mana ada dermaga tempat untuk memancing atau sekedar duduk membaca buku. Bisa juga untuk merendam kaki sedikit. Penggambaran lokasi ini bisa mengantarkan cerita menjadi terasa romantis dan melodramatis pada saat yang bersamaan.
Kalau dari hasil pencarian, saya menemukan kalau danau yang ada di Takengon itu namanya Danau Laut Tawar atau oleh orang setempat disebut Danau Lut Tawar. Ukurannya besar seperti laut, tapi airnya tawar.
Saya bukan penggemar cerita sedih, tapi ya gara-gara perpustakaan dan kopi yang dikisahkan di bagian awal, saya jadi penasaran dan memilih meneruskan membaca buku ini sampai habis. Dan tentunya kisah cintanya tidak kalah menariknya buat saya yang juga penggemar drama Korea.
Kopi Gayo dan Perkebunan ecofriendly
Perkenalan tentang kopi Gayo juga cukup banyak disebutkan dalam novel ini. Bukan hanya dari citarasa dan aromanya, tapi novel ini juga mengenalkan sedikit tentang seluk beluk perkebunan kopi. Bagaimana terkadang untuk mendapatkan kopi yang diminati banyak orang sampai dikirim ke luar negeri, para pekerja perkebunannya tidak selalu mendapatkan perhatian yang cukup dari pemiliki perkebunan.
Ada bagian penjelasan atau usaha mengedukasi tentang serangga di kebun kopi yang tidak disukai tapi sebenarnya dibutuhkan untuk menghasilkan kopi yang berkualitas. Membaca deskripsi yang ada membuat saya jadi bercita-cita semoga suatu hari nanti mendapatkan kesempatan untuk berlibur ke Takengon untuk melihat hal-hal yang disebutkan dalam novel ini.
Oh ya, disebutkan juga kalau di bulan November ada semacam festival panen kopi secara massal dan menjadi sebuah kegiatan yang menarik untuk wisatawan.
Pacuan Kuda Tradisional Gayo
Satu hal yang juga baru saya ketahui dari membaca novel ini adalah, ternyata di Takengon ada sebuah acara pacuan kuda tradisional. Acara pacuan kuda dimana menunggang kuda tidak menggunakan pelana. Jadi penunggangnya langsung duduk di atas punggung kuda.
Pacuan kuda ini juga merupakan rangkaian bagian dari musim panen, dan tentunya menjadi sebuah kegiatan yang menarik untuk pariwisata di kota Takengon.
Perkenalan latar belakang tokoh sedikit demi sedikit
Tokoh utama dalam cerita ini Nadya Sera dan Daryl Sukmawan cukup menarik buat saya. Nadya Sera anak orang kaya yang memilih tinggal di Jakarta sebagai pustakawan. Memiliki saudara tiri yang semuanya cukup sukses dan kaya juga. Pada akhirnya dia kembali ke Takengon bukan karena alasan merasa gagal, tapi karena dia tidak ingin ayahnya menjual penginapan yang merupakan masa kecilnya.
Daryl Sukmawan juga digambarkan putra sulung dari pemilik usaha konglomerat. Di awal diceritakan dia seperti orang yang melarikan diri dari sesuatu, tapi dari awal digambarkan kalau dia tertarik dengan Nadya Sera. Saya sempat heran kenapa Daryl tidak berani maju kalau memang suka, tapi ternyata ada hal yang baru diceritakan belakangan dan akhirnya saya mengerti alasannya.
Perkembangan dari karakter utama dan penyelesaian masa lalu
Nadya Sera ini digambarkan orang yang pendiam dan menyukai kegelapan dan kesendirian, tapi siapa menduga kalau ada bagian di mana diceritakan masa lalunya kalau dia ini orangnya terlalu to the point yang ternyata kata-kata yang dia ucapkan sebagai bentuk perhatian bisa diterima lain dan menyakiti lawan bicaranya.
Daryl Sukmawan sebenarnya bukan tokoh yang terlalu misterius, bahkan digambarkan cukup ramah dan bisa membuat ayah Nadya yang terlihat keras dan tegas menerima Daryl sejak pertama bertemu walaupun sudah tau latar belakang keluarga Daryl sebelumnya.
Karena saya tidak ingin memberi spoiler terlalu banyak di bagian review ini, saya hanya bisa bilang secara keseluruhan ceritanya buat saya bisa dinikmati, menarik dan masuk akal. Bahkan saya bisa membayangkan buku ini seandainya dijadikan film akan seperti apa.
Penutup
Konflik yang ada dalam cerita ini menarik dan membuat saya memikirkan, seandainya saya yang jadi Nadya, apa yang akan saya lakukan ketika sahabat masa kecil saya menikah dengan musuh bebuyutan saya dan pestanya dilakukan di rumah saya.
Kisah cinta Nadya Sera sendiri cukup lambat dan penuh ketidakpastian. Masih mending sih ceritanya bukan cerita tarik ulur, tapi ya ceritanya agak menahan perasaan karena bermula dari hubungan sebatas tamu dan pemilik usaha dan juga latar belakang masing-masing tokoh yang membuat mereka berhati-hati dalam menjalin hubungan.
Beberapa tebakan saya di awal membaca buku ini ternyata benar, tapi jadinya ketika mengetahui tebakan saya benar, saya jadi merinding sendiri dan merasa sedikit horror, hehehe.
Ya udah deh, silakan dibaca sendiri kalau ingin membayangkan jalan-jalan ke Takengon dengan udara dingin dan pemandangan bukit pinus dan danaunya, sambil menikmati aroma kopi Gayo atau makanan khas Aceh lainnya.
Leave a Reply