Isi tulisan ini
Bulan September ini, Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog datang dengan tema pengalaman berbahasa seumur hidup. Berbeda dengan mbak Sari Rochmawati yang banyak bercerita tentang bahasa daerah di Indonesia, saya akan bercerita tentang pengalaman dengan bahasa asing dan bahasa Indonesia.
Dulu, ketika saya kecil, kakek saya pernah jalan-jalan ke Amerika mengunjungi anak dan cucunya. Dia berpesan pada kami cucunya yang lain: “Kalian tidak wajib belajar bahasa daerah, tapi kalian harus bisa menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris.”
Saya pernah belajar 4 bahasa asing: Inggris, Jerman, Thailand dan Korea. Akan tetapi dari 4 bahasa itu, hanya 2 bahasa asing yang benar-benar bisa saya gunakan dalam percakapan: bahasa Inggris dan bahasa Thailand.
Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama buat saya. Walaupun orangtua saya di rumah berbahasa daerah (Simalungun), saya tidak pernah merasa bisa bahasa Simalungun. Saya mengerti sedikit kata-katanya kalau mendengar, saya bisa mengerti ketika membaca Alkitab berbahasa Simalungun, tapi saya tidak pernah bisa dengan lancar ngobrol bahasa Simalungun. Di masa sekolah di Medan, Sumatera Utara, saya tidak pernah mendapat pelajaran bahasa daerah.
Tinggal di Bandung selama hampir 12 tahun tidak membuat saya bisa bahasa Sunda. Saya hanya bisa mengucapkan beberapa kata yang umum digunakan dalam pergaulan, tapi saya tidak pernah menjadi penutur bahasa Sunda.
Suami saya orang Jawa, orangtuanya masih sering saya dengar berbahasa Jawa. Akan tetapi, karena suami saya juga tidak pernah saya dengar berbahasa Jawa dengan orang tuanya, saya tidak pernah merasa perlu belajar bahasa Jawa.
Pembelaan saya selalu begini: bahasa Simalungun saja saya tidak bisa, bagaimana mungkin saya harus belajar bahasa Jawa? Padahal pada dasarnya ya tidak ada kebutuhan saja sih. Segitu banyaknya bahasa daerah di Indonesia, saya hanya bisa bahasa Indonesia.
Mulai dari lahir berbahasa Indonesia sampai sekarang, tidak membuat saya merasa bahasa Indonesia itu mudah. Sampai sekarang, saya masih sering merasa kewalahan mengingat dan menggunakan aturan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indoenesia).
Tinggal di Thailand membuat kosa kata bahasa Indonesia saya juga semakin terbatas. Bukan karena saya sangat fasih berbahasa Thailand, tapi ya semakin jarang digunakan, memang kata-katanya jadi hilang saja dari ingatan.
Bahasa Asing
Sejak SMP kelas 1 saya belajar bahasa Inggris. Bukan di lembaga ternama, hanya di tempat kursus biasa di dekat rumah. Masa itu, anak SD belum ada pelajaran bahasa Inggris.
Saya belajar bahasa Jerman ketika kuliah. Saya belajar hanya 6 bulan. Karena tidak melihat ada kebutuhan, saya berhenti kursus bahasa Jerman.
Tidak pernah akan terpikir saya akan belajar bahasa Thailand. Dulu bahkan tidak pernah terpikir akan tinggal dan betah di Thailand. Jadi bisa dibilang saya belajar bahasa Thailand karena kebutuhan.
Untuk bahasa Korea, saya belajar karena iseng setelah menjadi penggemar drakor. Sejauh ini saya hanya mengenal huruf dan mencoba membaca kalimat yang ada, tapi tidak pernah benar-benar menggunakannya dalam percakapan dan masih tetap belum bisa menonton tanpa subtitle.
Saya akan menceritakan lebih detail untuk 2 bahasa asing yang memang saya bisa gunakan dalam percakapan.
Bahasa Inggris
Belajar bahasa itu bukan tergantung durasi belajarnya, tapi lebih ke seberapa sering kita menggunakan bahasa itu. Walaupun sudah belajar teori sejak kelas 1 SMP, saya baru benar-benar menggunakan bahasa Inggris itu setelah pindah ke Thailand.
Bahasa Inggris saya sebelum itu pasif. Bahasa Inggris menjadi jembatan yang sangat membantu saya untuk belajar bahasa Thailand.
Berkat menonton banyak film berbahasa Inggris dengan subtitle bahasa Inggris, ketika ngobrol dengan orang asing di sini, mereka bilang kalau bahasa Inggris saya cukup bagus.
Logat asia saya masih terasa, mereka pikir saya orang Filipina. Tapi, memang bahasa Indonesia mirip dengan bahasa Tagalog jadi tentu saja logatnya ada kemiripan. Yang penting mereka ngerti saya ngomong apa, hehehe.
Saat ini kemampuan bahasa Inggris saya cukuplah untuk membaca buku, atau belajar berbagai hal dari situs berbahasa Inggris. Tapi kalau misalnya disuruh menulis blog dalam bahasa Inggris (yang mana pernah saya lakukan dulu), rasanya saya tidak akan selancar ini menuliskannya.
Bahasa Thailand
Tulisan tentang belajar bahasa Thailand sebenarnya sudah banyak saya tuliskan di blog saya. Saya bahkan pernah berusaha membuat tulisan seri belajar bahasa Thailand. Tapi tulisan itu sepertinya masih harus dirapihkan.
Berbeda dengan bahasa yang pernah saya pelajari sebelumnya, bahasa Thai adalah bahasa pertama yang saya pelajari dengan susunan huruf yang berbeda dan juga menggunakan intonasi.
Bahasa Thai itu memiliki 44 konsonan yang terbagi dalam 3 kelas (tinggi, sedang dan rendah), dan 32 vokal (terbagi dalam vokal panjang dan pendek). Dalam pengucapannya ada 5 intonasi dari setiap suku katanya seperti bernyanyi. Intonasi tersebut tergantung dari jenis konsonan, jenis vokal dan tanda baca yang digunakan.
Ada begitu banyak yang harus diingat selain kosa kata. Belum lagi, sebuah bunyi bisa memiliki beberapa pilihan huruf. Bukan hanya itu saja, ada banyak pengecualian lagi yang harus diingat dalam bahasa Thai.
Beberapa tahun pertama, walau sudah belajar banyak, saya masih saja merasa tidak percaya diri untuk menggunakannya. Kali pertama saya akhirnya menggunakannya adalah ketika saya harus berkomunikasi dengan salah seorang ibu lain di sekolah anak saya yang tidak bisa bahasa Inggris sama sekali.
Saya bisa bahasa Thai karena terpaksa. Karena adanya kebutuhan untuk berkomunikasi. Kalau tidak begitu, mungkin sampai saat ini saya masih akan tetap tidak bisa bahasa Thai.
Sekarangpun saya belum merasa fasih dalam bahasa Thai. Tapi untuk percakapan, saya sudah bisa berkomunikasi untuk berbagai hal yang dibutuhkan sehari-hari. Intinya kan bisa berkomunikasi dan saling memahami.
Belajar bahasa lebih sulit dari Matematika
Belajar berbagai bahasa membuat saya menyimpulkan kalau belajar bahasa itu lebih sulit daripada belajar matematika. Berikut ini alasannya:
Dalam notasi matematika tanda plus tidak akan pernah berubah makna menyatakan penjumlahan. Operasi matematika juga tidak pakai pengecualian, penjumlahan ya penjumlahan, pengurangan ya pengurangan.
Belajar bahasa itu sulit karena:
- satu kata bisa berbagai makna
- satu makna bisa berbagai kata
- satu simbol bisa berbagai bunyi
- ada banyak aturan pengecualian (terutama dalam bahasa Thai)
- sudah susah payah belajar, kalau tidak dipakai bisa terlupakan.
- bahasa itu juga dinamis dan sering mengalami pergeseran makna.
Bahasa untuk komunikasi, yang penting saling mengerti
Buat sebagian orang, belajar bahasa mungkin lebih mudah daripada belajar hal lain. Di sekolah saja tidak pernah terdengar ada siswa yang merasa pelajaran bahasa itu momok yang menakutkan.
Menurut saya, bahasa itu terasa mudah karena kita menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari. Banyak yang menyepelekan bahasa yang dia gunakan sejak lahir sebagai bahasa yang mudah. Hal ini tentu saja karena dia merasa setiap kali berbicara toh yang diajak bicara mengerti dan sebaliknya.
Tapi sebenarnya, kalau penggunaan bahasa dengan kaidah yang seharusnya, belum tentu semudah itu loh. Ketika saya bertemu dengan orang asing yang belajar linguistik di sini dan bertanya bagaimana phonetik dari pengucapan kata tertentu, saya jadi tertegun lama dan tidak bisa menjawab.
Saya ingat ketika di Bandung, orang Batak sering jadi bahan bercanda tentang Ledeng dan Cicaheum dan Ciumbeluit. Jangankan nama-nama dalam bahasa Sunda, bahasa Indonesia untuk mental yang yang artinya terpelanting dan mental yang artinya batin dan sifat manusia saja bisa salah diucapkan oleh orang batak.
Pada akhirnya, yang penting dalam komunikasi itu adalah tersampaikannya pertukaran pesan dari 2 pihak yang berkomunikasi. Seperti halnya tulisan saya ini, walaupun mungkin saja ada beberapa kesalahan dalam kaidah penulisan, asalkan yang membaca mengerti, mungkin sampai level tertentu bahasa yang saya gunakan sudah cukup.
Mempelajari bahasa itu tidak ada berhentinya, harus terus menerus digunakan atau akan hilang begitu saja. Kalau ditanyakan kenapa saya tidak belajar bahasa daerah? Ya, waktu dulu tidak ada kebutuhan dan tidak ada yang mewajibkan. Kalau sekarang belajar bahasa daerah, misalnya tidak ada lawan bicaranya ya tentu tidak akan maju juga.
Kita tunggu cerita dari para mamah gajah ngeblog lain tentang pengalaman mereka dengan bahasa ya. Bisa jadi buat mereka, belajar bahasa tidak lebih sulit dari belajar matematika seperti saya, hehehe.
Leave a Reply